Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Kami Memang Buta, tapi Pantang Mengemis

22 Desember 2020   14:41 Diperbarui: 22 Desember 2020   21:26 416
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Putri pasutri Slamet & Munjiati dipangku sang nenek (foto: dok pri)

Pasangan suami istri (Pasutri) Slamet Riyanto (45) dan Munjiati (27) warga Dusun Senggrong RT 9 RW 4, Desa Terban, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang merupakan penyandang tunanetra sejak lahir. Kendati begitu, mereka berdua pantang meminta - minta (mengemis) , padahal statusnya layak disebut sebagai duafa. Seperti apa kehidupannya, berikut catatannya untuk Indonesia.

Keberadaan Pasutri malang tersebut, awalnya  terdeteksi oleh personil Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga. Di mana, ketika tengah menjajakan satu lidi dan sapu ijuk, mereka berdua sempat ditanya tempat tinggalnya. " Mereka mengaku tinggal jadi satu dengan orang tua Munjiati di Desa Terban," kata seorang relawan.

Begitu mendapat laporan tentang keberadaan Pasutri tunanetra yang saban hari berdagang sapu keliling ke berbagai kampung, Bambang Setyawan selaku penanggungjawab Relintas segera memutuskan menyambanginya. Sayang, saat itu Slamet mau pun istrinya tengah berdagang sehingga tak bertemu. " Mas Slamet  dan istrinya jam segini masih berjualan keliling," kata adik kandung Munjiati yang bernama Karmini (24).

Menurut Karmini, sebenarnya kakaknya ingin memiliki rumah sendiri, karena oleh ayahnya sudah diberi bagian tanah yang terletak di belakang rumah. Sayang, akibat faktor ekonomi, impian tersebut sulit terkabul. " Jadi ya sementara tinggal bersama orang tua, entah sampai kapan," ungkapnya.

Karena cukup lama ditunggu Slamet tak juga pulang, sementara cuaca semakin mengkhawatirkan, akhirnya Bambang Setyawan yang biasa disapa Bamset berpamitan dan berjanji akan datang kembali. " Entah besok atau lusa, saya pasti kembali ke sini," jelas Bamset.

Pasutri keren di mata para relawan Kota Salatiga (foto: dok pri)
Pasutri keren di mata para relawan Kota Salatiga (foto: dok pri)
Pantang Mengemis

Dua hari kemudian, Bamset dikawal empat relawan kembali menyambangi kediaman mertua Slamet yang bernama Muniri (60). Kebetulan, Slamet dan istrinya tengah bersiap akan berdagang. Melihat kedatangan relawan, Slamet mengaku sangat gembira. " Baru kali ini kami kedatangan tamu dari jauh (Kota Salatiga ), jujur kami sangat senang," ujar Slamet ditemani istri serta Karmi (57) ibu mertuanya.

Diungkapkan oleh Slamet, saban hari, ia bersama istrinya berdagang sapu ijuk dan sapu lidi. Barang dagangan itu diambil dari seorang kerabat. Menggunakan sistem bagi hasil, dirinya menjual Rp 20.000 perbatang. " Saya mendapat bagian Rp 10.000 , sisanya untuk pemilik dagangan," ungkapnya.

Dengan membawa barang dagangan sebanyak 20 batang sapu, bila nasibnya beruntung, ia sehari  bisa mengantongi Rp 50.000 sampai Rp 100.000. Tapi , di musim penghujan, kadang hanya mampu membawa pulang Rp 20.000 karena waktunya habis untuk berteduh.

Putri pasutri Slamet & Munjiati dipangku sang nenek (foto: dok pri)
Putri pasutri Slamet & Munjiati dipangku sang nenek (foto: dok pri)
Untuk menuju Kota Salatiga, Slamet dan istrinya berjalan kaki dulu menuju jalan raya yang dilewati angkutan. Jauhnya, sekitar 3 kilo meter, maklum, rumah mertuanya memang terbilang pelosok. Setelah menumpang angkutan plat hitam, mereka berdua menyusuri perkampungan guna mencari pembeli. " Kadang kalau tak laku, ya nombok bayar angkutan pulang pergi," tuturnya.

Saat berbincang, Slamet secara terus terang mengakui, kendati dirinya dan istrinya penyandang tunanetra, namun, prinsipnya pantang meminta -- minta (mengemis). Apa pun yang terjadi, mereka bertekad mencari nafkah untuk membesarkan putri semata wayangnya yang bernama Misya Putri Febriani (2,5). " Meski ada tunanetra kerjanya mengemis dengan penghasilan besar, kami tidak tertarik mengikuti jejaknya," tandasnya.

Akan Dibuatkan Rumah

Diakui oleh Slamet, resiko berdagang barang kebutuhan rumah tangga yang relatif awet, maka tak setiap orang membutuhkannya. Terkait hal itu, ia sudah berencana membuka praktek pijat, karena selain pernah mendapatkan pelatihan di Kabupaten Temanggung, dirinya juga sempat bekerja sebagai tukang pijat di Kota Semarang.

Menjawab pertanyaan Bamset, Slamet menjelaskan, selama hampir 3 tahun keliling menjajakan sapu, ia berulangkali mengalami pengalaman tidak menyenangkan seperti menjadi korban tabrak lari mau pun nyasar di selokan. " Jumlahnya tidak terhitung, yang namanya gulung- gulung di parit atau selokan sudah berulangkali," tuturnya.

Tim bedah rumah Relintas tengah mengukur lahan (foto : dok pri)
Tim bedah rumah Relintas tengah mengukur lahan (foto : dok pri)
Slamet mengakui, sejak lama memiliki impian tinggal di rumah yang terpisah dengan mertuanya. Seperti apa pun bentuknya, bila menempati kediaman milik sendiri mungkin akan bahagia. " Mungkin lho ya, kan kami belum pernah merasakan punya rumah sendiri," kata Slamet sembari tertawa.

Misal kelak memiliki rumah sendiri, lanjut Slamet, dirinya ingin membuka praktek pijat. Terkait hal itu, ia akan membuat ruangan khusus pijat. Jadi, ketika musim penghujan tiba, tak perlu lagi menjajakan dagangan keluar masuk perkampungan. Begitu pun saat tubuh merasa penat dan malas keliling, bisa menerima pasien.

Demi mendengar impian Slamet tersebut, Bamset bersama relawan lainnya sepakat akan merealisasikannya.  Rencana bulan Januari mendatang, Relintas bakal membuatkan rumah berukuran 4 X 6 meter, ditambah teras dan dapur. " Intinya, rumah yang kami buatkan tidak mewah namun layak huni," jelas Bamset.

Lahan calon rumah tengah diratakan warga (foto: dok pri)
Lahan calon rumah tengah diratakan warga (foto: dok pri)
Kenapa Bamset langsung merespon keinginan Slamet ? Sebab, berdasarkan penelusurannya, Slamet yang tak pernah mendapatkan Program Keluarga Harapan (PKH) ini, juga sulit menerima bantuan Rumah Tidak Layak Huni (RTLH) dari negara. Pasalnya, lahan yang dimilikinya selain belum berdiri bangunan, ternyata statusnya masih atas nama mertuanya.

Mendapatkan penjelasan dari Bamset, secara spontan Slamet dan itrinya mengaku sangat bahagia. Gestur kebahagiaan sulit mereka sembunyikan, bagaimana tidak, ketika negara ogah hadir, mendadak para relawan datang serta bakal mewujutkan impiannya tanpa birokrasi yang berbelit.

Menurut Bamset, kendati tim bedah rumah di Relintas sudah siap mengeksekusi rumah layak huni untuk pasutri tuna netra ini, namun, pihaknya tetap meminta dukungan warga setempat. Tanpa bantuan warga, agak sulit merealisasikan sebuah rumah dalam tempo sehari. " Informasi terakhir, warga merespon positif. Bahkan, mereka sudah mulai meratakan lahannya," ungkapnya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun