Mardi (75) Â duda renta tanpa anak warga Dusun Krajan RT 01 RW 03, Desa Cukilan, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang jelang usia uzurnya, ternyata mengalami nasip mengenaskan. Selain tinggal di rumah gubuk yang telah miring, ia juga lebih banyak makan nasi tanpa lauk. Berikut penelusurannya atas nestapa yang menimpanya.
Kendati rumah yang ditempati Mardi (biasa disapa mbah Mardi) berada di pinggir jalan aspal, namun, sebenarnya tidak layak disebut rumah. Pasalnya, selain hanya berukuran sekitar 3 X 4 meter, tempat tinggal berbahan bambu yang dibelah (galar) itu tak dilengkapi fasilitas MCK mau pun kamar, semuanya menyatu dalam satu ruangan, duh ngenesnya...
Saat disambangi para relawan, mbah Mardi tengah memilihi tanaman kacang yang baru saja dicabut. Bertelanjang dada, kulitnya menghitam akibat terlalu sering terkena sinar matahari secara langsung.
Sepintas, terlihat tubuh rentanya kurus sebagai indikasi jarang menyerap asupan gizi. Beliau segera terburu mengenakan baju ketika melihat tamu yang mengunjunginya.
Menempati lahan milik kerabatnya, di dalam rumah hanya terdapat balai kayu tanpa kasur untuk istirahat. Sementara, guna memasak nasi, mbah Mardi memanfaatkan bagian belakang dengan membuat tungku kayu.
Sedangkan kesehariannya, kakek tersebut bekerja mencangkul yang bayarannya mencapai Rp 30.000.
"Kalau tidak ada yang memberi pekerjaan mencangkul, ya tak punya uang," kata mbah Mardi saat ditemui Bambang Setyawan selaku penanggungjawab Relawan Lintas Komunitas (Relintas) Kota Salatiga.
"Hasilnya, berita itu benar adanya. Kondisi mbah Mardi memang sangat mengenaskan," kata Bamset , Jumat (26/7) sore seusai mengunjungi duafa tersebut.
Dalam perbincangan, terungkap bahwa mbah Mardi sebenarnya merupakan warga asli desa setempat. Namun, dirinya sempat merantau ke Lampung untuk mengadu nasib.
Sayang, keberuntungan tak mampu diraihnya, sehingga menjelang usia tua, ia memutuskan pulang kampung kendati tidak memiliki rumah.
Menurut mbah Mardi, sebelum memutuskan mengadu peruntungannya ke Lampung, ia sempat menikahi perempuan bernama Rukmini akibat dijodohkan.
Sayang, perkawinannya kandas karena dirinya merasa tidak bisa mencintai istrinya. Hingga akhirnya, dia kembali menikah dengan Martini, lagi-lagi pernikahan itu buyar tanpa anak.
Selepas dari pelukan Martini, mbah Mardi akhirnya menikah untuk ketiga kalinya. Perempuan yang disuntingnya bernama Sumiyati, belakangan juga tak dikaruniai anak.
Entah karena bosan dengan kemelaratan, saat usia mbah Mardi mulai uzur, istrinya mendadak pergi dan tak pernah kembali.
"Pergi ke mana juga tidak tahu, mungkin sudah dimakan demit," kata mbah Mardi dalam bahasa Jawa.
Hidup sendirian, ditambah sulitnya mencari nafkah di Lampung, akhirnya mbah Mardi memilih pulang ke kampung halamannya. Terhitung, sudah 6 tahun dirinya hidup di desa Cukilan, tentunya dengan cara berpindah- pindah.
Hingga 2 tahun terakhir, ia menempati rumahnya yang sampai sekarang dihuninya.
"Yang penting bisa untuk beristirahat," jelasnya.
Menurut mbah Mardi, kendati tinggal di kampung halaman, namun karena faktor usia ditambah tanpa memiliki pekerjaan tetap memang cukup menyulitkan.
Namun, ia percaya banyak orang baik yang bakal membantunya. Sebab, kebutuhan paling pokok untuk dirinya hanya sebatas makan keseharian.
Sedangkan kebutuhan uang hanya dipergunakan untuk membeli lauk dan sekali tempo guna memeriksakan punggungnya yang terasa gatal sangat menyengat.
Lho, ada apa dengan punggungnya?
"Dulu terbakar, sampai sekarang harus sering kontrol ke RSUD Kota Salatiga," jelasnya.
Tanpa disadari, jaket yang dikenakan berbahan nylon dan tersambar api. Akibatnya fatal, bagian punggungnya membusuk.
" Tiap hari rasanya panas campur gatal, kalau obat dari dokter habis biasanya saya olesi minyak gosok untuk meredakan sakitnya. Agak mendingan setelah diolesi minyak gosok," kata mbah Mardi sembari memperlihatkan punggungnya yang sepertinya tumbuh keloid.
Selanjutnya, ia juga mengirim seksi bedah rumah untuk menghitung kebutuhan material yang dibutuhkan. Sebab, berdasarkan keterangan kakek duafa tersebut, usai Idul Adha 1440 H, lahan yang ditempatinya akan tergusur.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H