Dua orang nenek uzur, Tukiyem (80) dan Mukinem (74) warga Dusun Brangkongan Kidul RT 1 RW 7, Desa Ujung- Ujung, Kecamatan Pabelan, Kabupaten Semarang, sepertinya kompak menjalani kehidupan yang memperihatinkan. Kendati begitu, mereka tetap selalu bersyukur karena diberi kesempatan untuk beribadah.
Karena penasaran dengan keberadaan dua nenek yang hidup bertetangga tersebut, siang ini saya pun menelusurinya. Kebetulan, ada hamba Allah yang menitipkan sembako untuk Tukiyem mau pun Mukinem. Tak sulit menemukan dusun yang menjadi tempat domisili mereka, sebab, dari Kota Salatiga hanya berjarak sekitar 5 kilo meteran.
Rumah Tukiyem yang biasa disapa mbah Yem, berada di tengah kebun, kondisinya sangat memperihatinkan. Bangunan berbahan papan dan anyaman bambu tersebut, praktis sudah didera kelapukan. Kendati begitu, tetangganya yang berbaik hati, mau menyalurkan aliran listrik sehingga situasi ruangan dalam cukup terang. " Monggo, monggo masuk saja," kata mbah Yem ramah saat menyambut saya.
Bambu yang sudah dipotong kecil- kecil, selanjutnya dirajang tipis. Oleh mbah Yem, untuk mengisi kesibukan di hari tuanya, dimanfaatkan menjadi keranjang ikan asin. Keranjang kecil sekali pakai tersebut, dihargai Rp 10.000 per 125 bijinya. Biasanya, dua hari nenek sepuh itu mampu membuat 125 keranjang dan mengantongi uang ceban.
Uang sebesar Rp 10.000 dipakainya membeli beras 1 kilogram (untuk dimakan 2- 3 hari). Sedangkan lauknya, mbah Yem biasanya mengambil dedaunan di depan rumahnya. " Kadang daun papaya, kadang juga daun singkong. Yang penting bisa masuk perut," ungkap mbah Yem sembari menambahkan dirinya tidak memerlukan bahan bakar minyak atau gas karena memasak menggunakan kayu bakar.
Yang membuat trenyuh, saat ditanya persediaan beras di rumahnya, mbah Yem menjelaskan bahwa dirinya masih memiliki 1 gelas beras. Sisa beras tersebut akan ditanaknya besok dan cukup untuk mengganjal perut seharian. Sebab, dengan usia yang tak muda lagi, kebutuhan makan baginya hanya sekedarnya. " Yang penting perut terisi saja," jelasnya.
Mbah Yem menjelaskan, dirinya memiliki 1 orang anak perempuan yang berdomisili di Jakarta. Sang anak hanya pulang kampung tiap menjelang hari Raya Idhul Fitri, selebihnya, ia selalu dalam kesendirian. Ketika ditanya tentang bantuan pemerintah, mbah Yem menegaskan dulu sekali pernah menerima Bantuan Langsung Tunai (BLT), tetapi sudah bertahun- tahun dirinya tidak menerima lagi.
Kendati hidupnya sarat nestapa, perempuan bertubuh kurus tersebut mengaku selalu bersyukur. Pasalnya, di usia yang 80 tahun, dirinya diberi kesehatan oleh Allah SWT. " Jangan berharap yang berlebihan, setiap hari bisa beribadah (sholat) itu sudah anugerah yang tak terkira," ungkapnya.
Memang, kendati usianya sudah uzur, namun mbah Yem masih memiliki pendengaran yang lumayan tajam. Begitu juga dua matanya, tetap awas melihat berbagai benda. Terbukti, dirinya mampu menganyam bilahan bambu untuk dibuat menjadi keranjang ikan asin.
Tak jauh dari rumah mbah Yem, terdapat Mukinem , janda tanpa anak yang juga hidup sendirian. Mbah Mukinem kesehariannya membuat keranjang ikan asin. Yang membedakan, kendati lebih muda, namun, cara komunikasi nenek ini cenderung ngelantur. Sepertinya, virus kepikunan mulai mendera tubuhnya.
Akhirnya saya pun menjelaskan bahwa paket sembako itu merupakan titipan hamba Allah untuk dirinya. Begitu mendengar penjelasan saya, spontan beragam doa mengalir dari mulutnya. Seakan, doa- doa duafa tersebut membaluri tubuh saya. " Suami saya sudah lama meninggal dunia, paska meninggalnya suami, saya hidup sendirian," kata mbah Mukinem yang jalannya terpincang akibat tulang pahanya pernah patah.
Menurut mbah Mukinem, perkawinannya dengan mendiang suami memang tak membuahkan anak. Kendati begitu, ia tetap mensyukurinya karena di kampung, masih banyak saudaranya yang ikut memberikan perhatian. Sebab, bila tanpa kerabat, dirinya dipastikan kelimpungan untuk makan sehari- harinya.
Mbah Mukinem mengakui, faktor usia, ditambah cedera di tulang pahanya sebelah kanan, membuat dirinya lambat beraktifitas. Meski begitu, ia tetap bersemangat menghadapi sisa kehidupan. " Yang penting masih mampu berjalan ke mushola dan menunaikan ibadah, bagi saya sudah cukup," ungkap nenek yang di KTP nya bernana Sumiati ini serius.
Itulah kehidupan dua nenek duafa di pelosok Kabupaten Semarang, dibelit kemiskinan tak membuat mereka berputus asa. Bagi mereka, diberikan kesehatan sudah merupakan anugerah yang tidak ternilai. Jadi, rasa syukur atas apa yang mereka peroleh saban hari selalu dipanjatkan kepada Tuhannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H