Memang, kendati usianya sudah uzur, namun mbah Yem masih memiliki pendengaran yang lumayan tajam. Begitu juga dua matanya, tetap awas melihat berbagai benda. Terbukti, dirinya mampu menganyam bilahan bambu untuk dibuat menjadi keranjang ikan asin.
Tak jauh dari rumah mbah Yem, terdapat Mukinem , janda tanpa anak yang juga hidup sendirian. Mbah Mukinem kesehariannya membuat keranjang ikan asin. Yang membedakan, kendati lebih muda, namun, cara komunikasi nenek ini cenderung ngelantur. Sepertinya, virus kepikunan mulai mendera tubuhnya.
Akhirnya saya pun menjelaskan bahwa paket sembako itu merupakan titipan hamba Allah untuk dirinya. Begitu mendengar penjelasan saya, spontan beragam doa mengalir dari mulutnya. Seakan, doa- doa duafa tersebut membaluri tubuh saya. " Suami saya sudah lama meninggal dunia, paska meninggalnya suami, saya hidup sendirian," kata mbah Mukinem yang jalannya terpincang akibat tulang pahanya pernah patah.
Menurut mbah Mukinem, perkawinannya dengan mendiang suami memang tak membuahkan anak. Kendati begitu, ia tetap mensyukurinya karena di kampung, masih banyak saudaranya yang ikut memberikan perhatian. Sebab, bila tanpa kerabat, dirinya dipastikan kelimpungan untuk makan sehari- harinya.
Mbah Mukinem mengakui, faktor usia, ditambah cedera di tulang pahanya sebelah kanan, membuat dirinya lambat beraktifitas. Meski begitu, ia tetap bersemangat menghadapi sisa kehidupan. " Yang penting masih mampu berjalan ke mushola dan menunaikan ibadah, bagi saya sudah cukup," ungkap nenek yang di KTP nya bernana Sumiati ini serius.
Itulah kehidupan dua nenek duafa di pelosok Kabupaten Semarang, dibelit kemiskinan tak membuat mereka berputus asa. Bagi mereka, diberikan kesehatan sudah merupakan anugerah yang tidak ternilai. Jadi, rasa syukur atas apa yang mereka peroleh saban hari selalu dipanjatkan kepada Tuhannya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H