Kejengkelan warga, rupanya ditanggapi dingin mbah Jumadi. Rupanya virus kepikunan sudah mulai melanda tubuhnya, sehingga, ia cuek bebek. Kalau punya uang (hasil pemerian orang) dirinya memilih membeli di warung, tapi bila tidak mengantongi duit, ia "berpuasa" sembari ngedumel. "Tadi dia juga sudah berjalan jauh, begitu saya melihatnya segera saya tuntun pulang," jelas Sumarlan.
Perihal kebutaan yang diderita mbah Jumadi, Sumarlan menjelaskan bahwa dulunya mbah Jumadi mampu melihat meski tak begitu jelas. Sehari -- hari dirinya bekerja mencari rumput untuk pakan sapi.
Hingga beberapa tahun lalu, ia terjauh saat memanjat pohon kelapa. Diduga syarafnya cedera sehingga mengakibatkan matanya buta secara instan. "Karena orang desa, waktu itu tak ada inisiatif untuk memeriksakannya ke dokter mata," imbuh Sumarlan.
Sore ini, untuk kedua kalinya saya menyambangi mbah Jumadi. Beliau masih pulas tertidur di atas tumpukan pasir, baru terbangun setelah saya berulangkali mengucapkan salam.
Saat mengenali suara saya, mbah Jumadi meminta saya mencarikan air minum. Pasalnya, dirinya habis meminum air mentah malah mencret. "Perutku belum kemasukan nasi, cuma makan roti pemberianmu kemarin tapi tenggorokan seret karena tidak ada air minum," jelasnya.
Ya, harusnya , sesuai konstitusi, saat ada duafa akut yang kelaparan dan hidupnya sarat derita, negara wajib turun tangan. Entah kenapa, di sini saya malah menemukan pria renta yang sarat nestapa malah diabaikan. Entah sampai kapan mbah Jumadi akan seperti itu, yang pasti, saya serta rekan- rekan relawan berharap pihak terkait segera memboyongnya ke panti jompo. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H