Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

333 Headline, 4 Tahun di Kompasiana

23 Oktober 2018   13:16 Diperbarui: 23 Oktober 2018   13:34 787
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bonus hari jadi Kompasiana, HL ke 333 (foto: dok Kompasiana)

Tepat di hari jadi Kompasiana, yakni Senin (22/10) saya mendapatkan bingkisan berupa Headline (HL) atau Artikel Utama dideretan koleksi tulisan saya yang hanya berjumlah 763. Dengan begitu, total HL yang saya dapatkan selama empat tahun bergabung di blog keroyokan ini mencapai 333. Kenapa saya kurang produktif ? Berikut adalah catatannya selaku perajin kata di sini.

Secara resmi, saya membuat akun di Kompasiana tertanggal 31 Oktober 2014. Sebelumnya sama sekali tak mengenal apa itu Kompasiana, maklum saya bukan type orang yang akrab dengan dunia maya. Hingga seorang sahabat saya bernama Fathkun Nadjib tewas akibat tabrak lari di Tol Cipularang KM 97 , Iseng- iseng saya membuka berbagai berita mengenai dirinya, kebetulan ada salah satu Kompasianer yang mengulasnya sehingga akhirnya saya pun tertarik ikut menulis.

Kendati niat awal ingin ikut menulis di Kompasiana, namun, tak ada satu artikel pun yang bisa saya tulis. Satu- satunya artikel (kalau boleh disebut artikel) hanyalah semacam basa basi perkenalan, itu pun hanya direspon 5 Kompasianer. Barulah tanggal 7 Desember 2014, saya mulai menulis artikel reportase. Hingga akhirnya tahun bergulir ke angka 2015, artikel demi artikel berhasil saya produksi. Hasilnya, selama 10 bulan  saya mendapatkan 100 HL.

Ada hal menarik saat koleksi HL mencapai 100, yakni adanya tawaran dari seorang rekan pengelola media online. Saya ditawari untuk menjadi kontributor wilayah Kota Salatiga dan Kabupaten Semarang, imbalannya Rp 1,5 juta perbulan. Sayangnya, saya tidak begitu berminat menerima bayaran. Sebab, prinsip saya menulis adalah berbagi secara gratis, bukan berburu rupiah.

Hingga memasuki tahun 2016, panggung politik dan hukum sepertinya menarik perhatian saya. Kendati sesekali menulis reportase, namun hingar bingar politik tetap menjadi magnet tersendiri. Cukup banyak artikel saya yang berbau politik diganjar HL. Lucunya, saat Kompasianival akan berlangsung, mendadak nama saya muncul dideretan nominasi Best in Citizen Journalism.

Karena saya memang tidak berminat untuk mendapatkan penghargaan apa pun, maka ketika kandidat lain getol berkampanye, saya cenderung pasif. Hingga akhirnya, saat Kompasianival digelar di gedung Smesco (kebetulan saya tidak hadir), ternyata saya menerima dua penghargaan sekaligus, masing- masing Best in Citizen Journalism dan People Choice. Dalam kesempatan tersebut, penerimaan award saya diwakili rekan Kompasianer Boris dari Bandung (belakangan 2 award itu raib entah kemana).

Dengan dua penghargaan yang saya terima itu, bukan berarti saya terus kendur semangatnya dalam menulis. Saya tetap produktif, nyaris artikel yang saya buat kalau tidak HL, akan diberi label Highlight (H) atau Pilihan oleh admin. Hanya ketika ada migrasi dari Kompasiana versi lama ke versi baru, saya sempat mogok menulis karena lebih banyak ngadatnya dibanding lancarnya.

Paska Kompasianival 2016, tawaran menulis di media online asal Jakarta, kembali datang. Beberapa rekan menawarkan agar saya mau jadi kontributor daerah dengan imbalan cukup lumayan bagi seorang pemula, sayangnya saya tetap keukeuh menolaknya. Bagi saya yang biasa hidup tanpa kendali, sepertinya lebih nyaman menulis gratisan.

Akar Rumput

Kegandrungan saya menulis panggung politik dan hukum, akhirnya mencapai titik jenuh. Sebab, kendati banyak artikel politik yang HL, namun, ternyata tak mampu mengubah apa pun. Hingga tanggal 6 Oktober 2016, saya berjumpa dengan perempuan tua bernama Sukesi (75) warga Bendosari 01 RW 05, Kumpulrejo, Argomulyo, Kota Salatiga.Beliau tinggal di rumah yang mirip kandang, padahal almarhum suaminya seorang mantan pejuang kemerdekaan.

Saya sangat perihatin dengan keberadaan nenek yang hidup sebatangkara tersebut, bagaimana mungkin janda duafa yang suaminya ikut berperang mengusir pemerintahan kolonial Belanda ternyata hidupnya amat mengenaskan ? Spontan hari itu juga saya menulis nestapanya di Kompasiana. Hasilnya, luar biasa, dalam tempo 10 hari, rumah Sukesi dibedah oleh masyarakat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Inovasi Selengkapnya
Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun