Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Begini Kehidupan Gadis Uzur di Pelosok Boyolali

15 Oktober 2018   15:34 Diperbarui: 16 Oktober 2018   02:40 1886
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Jalan tanjakan menuju rumah wasiti (foto: dok pri)

Wasiti, perempuan uzur berumur sekitar 70 tahun warga Dusun Pancuran RT 21 RW 5, Desa Pentur, Kecamatan Simo, Kabupaten Boyolali  memiliki kehidupan yang memperihatinkan. 

Tinggal sendirian di rumah berbahan anyaman bambu yang sudah lapuk dimakan zaman, untuk makan keseharian berharap dari belas kasihan warga. Seperti apa kondisinya, berikut penelusurannya.

Minggu (14/10) sore, seusai membagikan paket sembako di pelosok pedesaan Kabupaten Semarang dan Boyolali, sekitar pk 15.00 masuk informasi yang menyebut bahwa di wilayah Kecamatan Simo, terdapat perempuan sepuh yang hidup sendirian dalam kondisi memperihatinkan. Di mana, selain sebatangkara, saban hari untuk makan dicatu para tetangganya.

Demi mendengar hal tersebut, saya setengah tak percaya, pasalnya pemerintah Kabupaten Boyolali belakangan memacu pembangunan di berbagai lini. Masak ada warganya yang hidup serba kekurangan sampai terabaikan? 

Terkait hal itu, saya pun langsung memutuskan mengunjunginya. Bersama lima orang relawan lainnya, kami mampir ke mini market sekedar membeli sembako pelengkap.

Jalan tanjakan menuju rumah wasiti (foto: dok pri)
Jalan tanjakan menuju rumah wasiti (foto: dok pri)
Cukup jauh perjalanan yang kami tempuh, dari Kota Salatiga melingkar melalui wilayah Kecamatan Klego mencapai sekitar 40 kilometer. Ditambah sinar matahari yang menyengat kulit, sepertinya asyik menyusuri jalur pedesaan. Sekitar pk 15.30, akhirnya kami mulai memasuki Desa Pentur. Harus bertanya berulangkali guna mencapai Dusun Pancuran.

Hingga akhirnya, kami tiba di rumah Wasiti yang terlihat menyendiri. Rumah berukuran sekitar 4 X 6 meter ini, tampak lapuk. Dinding anyaman bambunya, seperti tergerus jaman. Begitu kami mengucapkan salam, Wasiti buru-buru membukakan pintu. Beliau hanya mengenakan baju tanpa lengan dan jarik lusuh. " Monggo, monggo pinarak (silahkan, silahkan duduk)," ucapnya dalam bahasa Jawa, sembari mengambil kebaya lengan panjang.

Wasiti dalam kesehariannya, berpakaian sexy (foto: dok pri)
Wasiti dalam kesehariannya, berpakaian sexy (foto: dok pri)
Usai menyerahkan bingkisan, pertanyaan pertama yang kami ajukan, apakah siang ini sudah makan ? Wasiti menjawab belum, tapi kalau pagi hari sempat sarapan. Wajahnya terlihat sangat tua, rambutnya kompak memutih dan tubuhnya kurus pertanda sangat kurang asupan gizi. " Matur nuwun, matur nuwun sampun diparingioleh- oleh (terima kasih, terima kasih sudah diberi bingkisan) ," ungkapnya.

Rumahnya yang serba minimalis, tanpa kamar, tanpa ruang tamu mau pun ruang keluarga. Semuanya menyatu jadi satu, termasuk tungku kayu yang biasa Wasiti gunakan untuk memasak. Sementara di bagian dinding atas, terlihat lobang cukup besar, sehingga di malam hari dijamin sejuk kendati tidak menggunakan pendingin udara.

Diajak ngobrol panjang tapi jawabnya pendek- pendek (foto: dok pri)
Diajak ngobrol panjang tapi jawabnya pendek- pendek (foto: dok pri)
Gadis Permanen

Melihat kondisi rumahnya yang seperti itu, kami menawarkan bantuan untuk memperbaikinya. Dengan sigap, Wasiti menginjinkannya. Sebab, dirinya sebenarnya merasa tak nyaman tinggal di rumah yang tingkat kebobrokannya sudah mencapai level sangat memperihatinkan itu. "Ajeng ndadosi mboten gadah arto, nggih mpun kersane mangaten mawon to (Mau memperbaiki tak punya uang, ya biarkan seperti ini saja)," tuturnya.

Saat kami tengah berbincang, datang seorang perempuan muda bernama Suwaeni (40), ia merupakan keponakan Wasiti yang tinggal tak jauh dari lokasi. Menurut Suwaeni, sekitar dua hari lalu datang bantuan berupa batako dan semen yang nilainya mencapai Rp 10 juta. " Itu bantuan dari pemerintah untuk keperluan pembangunan rumah mbah Wasiti," jelasnya.

Dinding anyaman bambu sudah termakan jaman (foto: dok pri)
Dinding anyaman bambu sudah termakan jaman (foto: dok pri)
Karena bentuk bantuan berujut material, lanjut Suwaeni, maka pihaknya belum bisa memastikan kapan rumah Wasiti akan dibangun. Sebab, menurutnya batako, semen mau pun pasir tak mungkin bisa nempel sendiri tanpa campur tangan manusia. "Material- material itu kan tidak mungkin jalan sendiri, ngaduk sendiri," ungkapnya, cerdas juga orang ini (pikir saya).

Wasiti, kata Suwaeni, dulunya tinggal bersama ibu kandungnya di rumah yang sama. Sepeninggal sang ibu, ia hidup sendirian. Di mana, sejak muda, Wasiti memang belum pernah menikah sehingga layak disebut sebagai gadis permanen. "Saya tak tahu penyebabnya, yang saya tahu mbah Wasiti memang agak kurang," kata Suwaeni sembari memperagakan telunjuknya menempel di jidat.

Apa yang disampaikan Suwaeni, ternyata juga dibenarkan oleh Muslimah (50) tetangga dekatnya. Menurutnya, Wasiti sejak dulu, belum pernah menjalani pernikahan. Entah faktor ekonomi atau faktor lainnya yang menjadi penyebab, yang pasti mulai ibu kandungnya masih hidup, dirinya menolak didekati laki- laki.

Karena ingin mengetahui lebih detail, akhirnya saya pun konfirmasi langsung pada Wasiti. Ketika saya tanyakan penyebab tak menikah, ia hanya senyum- senyum tanpa makna. Dia yang sebelumnya duduk di bangku, saat saya duduk disampingnya, spontan langsung bergeser. Sepertinya Wasiti takut berdekatan dengan lelaki yang dulunya pernah ganteng ini.

Didekati lelaki ganteng langsung tersipu sembari menjauh (foto: dok pri)
Didekati lelaki ganteng langsung tersipu sembari menjauh (foto: dok pri)
Hampir 30 menit kami berbincang untuk mengetahui latar belakang kehidupan Wasiti, sayangnya, tak banyak yang mampu dikorek. Hanya bila melihat kondisi rumahnya yang sangat memperihatinkan, sepertinya campur tangan pihak lain sangat dibutuhkan agar di musim hujan mendatang, gadis uzur tersebut tidak didera udara dingin.

Itulah sedikit penelusuran sosok Wasiti yang seumur hidupnya menolak menikah, ia nekad melawan kodratnya sebagai perempuan yang menikah, beranak pinak dan menjalankan fungsinya selaku istri. Dirinya telah melalui 7 kepemimpinan Presiden, namun, nasipnya tetap tak berubah. Sarat oleh kemiskinan yang membelenggunya, entah kapan akan terbebas. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun