Keberadaan Agrowisata Gunungsari, Dusun Dukuh, Desa Kopeng, Kecamatan Getasan, Kabupaten Semarang banyak mengundang kekaguman masyarakat. Perpaduan pertanian dan beragam bangunan berbahan dasar bambu, mampu menyedot wisatawan. Siapa sangka, sosok dibalik destinasi wisata tersebut hanya jebolan kelas 1 SD. Seperti apa orangnya, berikut catatannya.
Sejak bulan Ramadan lalu, Agrowisata Gunungsari yang memang memiliki pemandangan indah, telah membetot perhatian warga Kota Salatiga mau pun Kabupaten Semarang. Bahkan, beberapa media elektronik sempat menayangkannya lengkap dengan beragam bumbu penyedapnya. Kendati begitu, belum ada satu pun yang mengungkap sosok Slamet Buang (54) warga Dusun Plalar, Desa Kopeng selaku pemiliknya.
Mengenakan kaos warna biru yang sudah lusuh, celana olahraga yang dibalut celana hitam, rambutnya acak- acakan. Namun, ia sangat ramah terhadap siapa pun. Bahkan, meski belum mengenal saya, dia memaksa saya memasuki warung makan serta mengajak saya ngobrol. Benar- benar type pria sangat bersahaja.
"Saya hanya sempat duduk di bangku SD kelas 1, itu saja hanya 9 hari karena tak mampu membayar uang sekolah yang di tahun 1970 an sebesar Rp 160," kata Slamet Buang, Jumat (6/7) saat berbincang mengenai riwayat hidupnya.
Menurut Slamet, dirinya terpaksa keluar sekolah karena orang tuanya terlalu melarat sehingga tak mampu membayar uang sekolah yang bagi kebanyakan orang relatif terjangkau. Selepas dari bangku kelas 1 SD, ia sudah dihadapkan pada kerasnya kehidupan. " Jangankan bersenang- senang, untuk makan tiap hari saja saya harus mencari sendiri," tuturnya dalam bahasa Jawa yang medok.
Kehidupan yang keras dijalaninya hingga beranjak remaja, jelang dewasa, Slamet Buang sudah mulai berdagang. Dari sayuran, tembakau hingga jual beli ternak ia lakoni. Kebetulan, bermodalkan kejujuran, banyak relasi yang mempercayainya. Meski belum mengenal dunia perkreditan bank, namun, berkat keuletannya secara perlahan beberapa petak tanah sudah mampu dibelinya.
Awal mulai tertarik investasi tanah, terjadi di tahun 1993 lalu. Di mana, berbekal tabungan yang ada, Slamet membeli sepetak demi sepetak lahan pertanian.
Hal inilah yang mendongkrak trust sehingga dipercaya rekan- rekannya. Bahkan, di tahun 1997, jelang krisis moneter di Indonesia, Slamet pernah dipinjami uang sebesar Rp 5 juta dengan kewajiban mengembalikan jadi Rp 6,5 juta dalam waktu 3 bulan. Hasilnya, ia mampu mengembalikan tepat waktu.
Saat kehidupannya sebagai blantik telah mapan, Slamet mengadu peruntungannya di sektor tembakau. Hasilnya, uang yang diputarnya mencapai milyaran rupiah.