Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Menelusuri Cagar Budaya di Areal PLTA Jelok

5 Juni 2018   17:28 Diperbarui: 6 Juni 2018   13:07 5498
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolam tandon raksasa milik PLTA Timo (foto: dok pri)

Banyaknya bangunan cagar budaya di areal PLTA, rupanya membuat pihak Pemerintah Desa (Pemdes) Delik ingin menjajakannya sebagai wisata cagar budaya. Hal tersebut saat diutarakan pada pengelola PLTA Jelok, rupanya diberi lampu hijau. Sehingga, dengan dukungan masyarakat setempat, akhirnya beberapa lokasi yang tertimbun tanah segera dibersihkan.

"Secara resmi, surat perihal rencana menjadikan areal PLTA Jelok menjadi destinasi wisata sudah masuk. Terkait hal itu, kami langsung mengeksekusi rencananya," kata Endrich Hargini, warga setempat yang memang dilahirkan di sini.

Menurut Endrich, PLTA Jelok sebenarnya bukan dibangun tahun 1938, tapi jauh sebelumnya telah dimulai proses pembangunannya. Di mana, sebelum dibangun, pihak ANIEM telah berupaya membangun PLTA Susukan di tahun 1920 an. Hal ini dibuktikan dengan ditemukannya terowongan Amsterdam sepanjang hampir 500 meter di Dusun Susukan.

Bunker ANIEM yang diduga dibangun tahun 1920 (foto: dok pri)
Bunker ANIEM yang diduga dibangun tahun 1920 (foto: dok pri)

Terowongan yang bagian dalamnya gelap gulita itu, sebelumnya tertutup tanah dan belukar. Oleh warga dalam satu bulan terakhir sudah dibersihkan sehingga mampu dikunjungi secara gratis. "Karena sarana mau pun prasarana destinasi wisatanya belum siap, maka wisatawan yang berkunjung belum ditarik biaya apa pun," ungkap Endrich.

Begitu pun dengan bunker ANIEM, bila sebelumnya tertutup rerumputan, belakangan sudah dibersihkan. Bunker yang ditengarai dibangun tahun 1920-an ini, dibuat jembatan penghubung menuju bukit yang terletak di sebelah PLTA Jelok. Pemandangan dari atas bukit, benar-benar luar biasa.

Sementara itu, beberapa rumah berdinding batu kali, menurut Endrich sudah beralih kepemilikan, termasuk rumah yang dulunya ditempati Kepala PLTA Jelok. Rumah seluas 300 meter persegi yang menempati lahan hampir 1.000 meter persegi, di tahun 2016 lalu terjual seharga Rp 275 juta. Padahal, bangunannya teramat kokoh.

Rumah dinas Kepala PLTA terjual Rp 275 juta (foto: dok pri)
Rumah dinas Kepala PLTA terjual Rp 275 juta (foto: dok pri)

Endrich yang ayahnya pernah menjabat sebagai Kepala PLTA Jelok di tahun 1997-1998, merasa sangat menyayangkan adanya rumah di areal PLTA yang tak terawat. Hal tersebut, membuat dirinya memaksa diri untuk membeli satu unit di tahun 2016 lalu. "Meski kadang tidak saya tinggali, saya tetap ingin menyelamatkan bangunan cagar budaya ini," jelasnya.

Perihal bangunan rumah, Endrich menuturkan, sebenarnya ada satu unit rumah pertama yang dibangun sebelum tahun 1900. Di mana, rumah tersebut sampai sekarang masih kokoh berdiri. Nantinya, tak menutup kemungkinan rumah itu bisa dimanfaatkan untuk kepentingan wisata.

Kolam tandon raksasa milik PLTA Timo (foto: dok pri)
Kolam tandon raksasa milik PLTA Timo (foto: dok pri)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun