Mendengar nestapa yang dialami mbah Kasrun, rasanya saya tak sabar menahan diri. Kebetulan, ada hamba Allah yang menitipkan bantuan berupa sembako. Akhirnya, di siang hari bolong, saya mengunjungi rumah dhuafa yang berjarak dari Kota Salatiga sekitar 20 kilometer itu.
Tak butuh lama, hanya dalam waktu sekitar 20 menit, saya tiba di Dusun Sawit. Sempat bertanya ke warga hingga tiga kali, akhirnya tiba juga di kediaman lelaki malang itu. Mbah Kasrun menyambut ramah kedatangan saya, kendati tidak mengetahui tujuan saya, namun, keramahan khas orang pedesaan sulit lepas dari dirinya.
Usai menyerahkan sembako, saya tidak melihat adanya perabot di dalam rumah duda dhuafa ini. Di dinding bambu, terselip 3 buah piring dan sebuah gelas.
Jangan bicara soal fasilitas MCK, sebab, untuk melepas hajatnya, mbah Kasrun selalu ke sungai yang berjarak sekitar 50 meter. Entah bagaimana bila kondisinya malam hari, ditambah hujan. Sebab, di rumahnya tak terlihat lampu senter mau pun payung.
Untuk memasak, terdapat tungku yang terbuat dari tanah liat. Di atas meja buluk, sebenarnya ada kompor gas bekas pembagian pemerintah, namun, karena gasnya kadang tak terbeli, mbah kasrun lebih suka memanfaatkan tungku.
"Sisa- sisa limbah bambu untuk membuat tampah, bisa dipakai untuk memasak nasi mau pun air," ujarnya datar.
Menurut mbah Kasrun, bulan lalu ada donatur memberikan bantuan sebesar Rp 1 juta guna perbaikan rumahnya.
Sayang, di tengah jalan, ia kehabisan uang untuk membayar tukang. Padahal, tiang blandar juga perlu diganti karena sudah terlihat keropos.
Susah membayangkan sulitnya hidup lelaki gaek ini, sepertinya, lengkap sudah penderitaannya. Kami sempat berbincang hampir 30 menit, ketika saya tawarkan untuk memperbaiki rumahnya, minimal agar dindingnya rapat, beliau berulangkali menyampaikan rasa terima kasihnya.