Ratusan warga Desa Rumahtita, Kecamatan Inamosol, Kabupaten Seram Bagian Barat (SBB), Maluku, puluhan tahun harus dipaksa berjudi dengan maut. Untuk menuju ibu kota kecamatan, mereka harus melalui jembatan berupa batang kayu yang dipasang melintang di atas sungai.
Kabar keberadaan ratusan warga Desa Rumahtita yang setiap akan menuju ibu kota kecamatan dipaksa berjudi dengan maut ini, awalnya dibawa oleh Pdt Izak Lattu Ph.D yang merupakan dosen Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Kota Salatiga. Menurutnya, saat Republik ini usai memperingati hari jadinya yang ke 72, pemandangan seperti itu sangat memperihatinkan. " Kalau mau tahu kondisi detailnya, coba kontak dengan keponakan saya yang bernama Hendrik Lattu, kebetulan dia tinggal di Kabupaten SBB," kata Izak.
Jembatan yang dibuat dari batang kayu Nani sepanjang sekitar 10 meter, sejak 30 tahun lalu dijadikan jembatan darurat bagi warga desa Rumahtita, Rambatu dan Manusa saat menuju ibu kota kecamatan. Di mana, ketika musim kemarau, kedalaman air hanya berkisar 1 meteran. Namun, saat musim hujan tiba, air meluap hingga setinggi 3,5 meter serta siap melahap warga yang terpeleset.
Apa yang disebut sebagai jembatan penghubung itu, lanjut Hendrik, sebenarnya sangat tidak layak untuk lintasan. Sebab, selain lebar permukaan hanya sekitar 15 centimeter, juga tanpa dilengkapi tali pengaman apa pun. Akibatnya, bila usai diguyur hujan, kondisi jembatan kayu jadi licin dan setiap saat siap menelan korban. " Untuk warga Rambatu dan Manusa ada akses lain meski jalannya lumayan jauh," jelasnya.
Tentunya, akan sangat bijak bila para pejabat baik tingkat kabupaten, provinsi hingga pusat, sekali tempo bertandang ke lokasi. Syukur- syukur, jelang hujan, mereka berani mencoba peruntungannya melewati jembatan baehula tersebut. Hitung- hitung uji nyali sekalian menikmati menjadi warga pelosok yang rindu fasilitas.
Menurut Hendrik, persoalan paling krusial yang dialami masyarakat Rumahtita ketika ada warga yang sakit. Di mana, untuk berobat harus dibawa ke Inamosol. Celakanya, batang pohon Nani tak mungkin dilalui orang dalam posisi berjajar atau menggendong pasien. Di sinilah penderita penyakit apa pun perlu diuji kesabarannya. Terkadang, virus mau pun bakteri yang menyerang tubuh sengaja dibiarkan bosan sendiri.
Akibat terisolirnya ratusan warga Rumahtita, ungkap Hendrik, maka yang namanya Kartu Indonesia Sehat (KIS) mau pun BPJS bisa dikata tiada berguna. Sebab, kendati memegang kartu tersebut, namun bila kondisinya lumayan parah, maka tidak bakal mampu menyeberangi sungai guna berobat. " Semisal lewat Rambatu dan Manusa pun, selain harus menempuh perjalanan jauh, juga resikonya nyaris sama," jelasnya.
Akses di Desa Rumahtita menuju ibu kota kecamatan sendiri, lanjut Hendrik, sebenarnya hanya berupa jalan tanah liat selebar sekitar 2 meteran. Di mana, akibat jalan lama terkena longsoran, maka belakangan warga membuat jalan baru dengan cara mengepras (memangkas) bukit kecil (gundukan setinggi 5 meter), tentunya menggunakan peralatan manual.
Itulah kabar memperihatinkan dari salah satu desa pelosok di Kabupaten SBB, akibat faktor alam, mereka menjadi terabaikan keberadaannya. Apakah hal ini akan dibiarkan hingga berlarut ? Mereka kan juga anak kandung ibu pertiwi yang mempunyai hak- hak seperti galibnya putra bangsa lainnya ? Duh! Kiranya beleid tentang pembangunan infrastruktur yang digadang Presiden Joko Widodo nantinya mampu merambah wilayah ini. Sehingga, warga Rumahtita bisa menikmati fasilitas selayaknya warga negara lainnya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H