Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Tim Ekspedisi 100 Hari Temukan Lumpang Batu di Merbabu

29 September 2017   15:07 Diperbarui: 29 September 2017   16:19 8127
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Raka melakukan penggalian lumpang batu (foto: dok pri)

Tim Ekspedisi 100 Hari di puncak gunung Merbabu yang terdiri atas Raka Metta Wantoro dan Dani Adi Kusuma , di hari ke 70 berhasil menemukan lumping yang terbuat dari batu. Diduga, penemuan ini merupakan jejak sisa peradaban ratusan tahun lalu saat kerajaan Mataram Hindu (Mataram lama) berkuasa di tanah Jawa.

Terkait dengan penemuannya tersebut, hari ini, Jumat (29/9) siang, Raka dan Dani akan melaporkannya ke Balai Taman Nasional Gunung Merbabu (BTNGM) yang berkantor di Boyolali, Jawa Tengah. " Soal langkah pengamanan selanjutnya, kami serahkan pada  BTNGM selaku pemilik wilayah. Tugas kami hanya melaporkan penemuan  ini," kata Raka selaku koordinator ekespedisi, Kamis (28/9) malam di rumah Jumadi (46) warga Dusun Tambangan, Sumogawe, Getasan, kabupaten Semarang.

Raka melakukan penggalian lumpang batu (foto: dok pri)
Raka melakukan penggalian lumpang batu (foto: dok pri)
Seperti galibnya sebuah lumpang atau lesung yang biasa digunakan untuk menumbuk padi mau pun meremukkan rempah- rempah, temuan ini berbentuk batu ukuran 1 X 1 meter dengan tinggi 50 centimeter dan bagian tengahnya berlubang cekung. Lubang tersebut ketika diraba sangat halus sehingga diyakini merupakan buatan manusia sekian tahun yang lalu.

Jumadi yang mendampingi Raka dan Dani, menjelaskan, sebagai orang yang sejak usia 12 tahun sudah naik turun gunung Merbabu, dirinya meyakini bahwa lumpang batu tersebut sudah ada ketika kerajaan Mataram lama berkuasa. Sebab, berdasarkan cerita turun menurun yang ia dapatkan, jaman Hindu puncak Merbabu kerap digelar berbagai ritual. " Artinya di ketinggian 3.142 mdpl ada kehidupan," ungkapnya.

Jumadi yang mengenal tiap jengkal lahan Merbabu (foto: dok pri)
Jumadi yang mengenal tiap jengkal lahan Merbabu (foto: dok pri)
Jumadi yang mengenal setiap jengkal puncak Merbabu mengakui, tanda- tanda adanya peradaban masa lalu bisa diketahui dengan keberadaan batu wayang, batu gubug hingga batu tulis atau disebut watu kethu. Untuk watu kethu ini, belum banyak diketahui orang, termasuk Raka mau pun Dani. Pasalnya, lokasi menuju watu kethu medannya sangat sulit sehingga bila tak hati- hati, sekali terperosok bakal tamat riwayatnya.

"Istimewanya watu kethu , batu ini berbentuk mirip blangkon (topi khas Jawa) dan ada tulisannya. Mungkin tulisan berbahasa Sanskerta, karena saya tidak memahaminya," kata Jumadi.

Menurut Jumadi, untuk temuan terakhir berupa lumpang batu ini, semakin menguatkan adanya peradaban pada masa ratusan tahun lalu. Untuk itu, dirinya berharap agar BTNMG bisa bekerja sama dengan para arkeolog guna melakukan penelitian. Sebab, baginya kendati hanya berujud lumpang, namun di jaman dulu, merupakan salah satu teknologi yang rumit pengerjaannya.

Orang terakhir yang hidup bertahun-tahun di puncak Merbabu, lanjut Jumadi, bernama mbah Syarif. Itu pun terjadi di tahun 60-an, di mana, saat itu almarhum mbah Syarif terlibat kasus penganiayaan terhadap adik kandungnya sendiri. Usai melakukan penganiayaan berujung tewasnya sang adik, mbah Syarif melarikan diri ke puncak dan tinggal sendirian. Menjelang akan meninggal, ia pulang ke desanya. "Sangat tidak mungkin lumpang itu buatan mbah Syarif," ujarnya.

Lumpang batu yang ditemukan Raka dan Dani sendiri, diketahui keberadaannya ketika keduanya tengah mencari kepingan bebatuan di Kentheng Songo. Di mana, saat mencangkul, mata cangkulnya terbentur benda keras hingga dilanjutkan penggalian. Hasilnya, sebuah lumpang batu teronggok dalam kondisi terbelah.

Dani tengah membersihkan temuannya (foto: dok pri)
Dani tengah membersihkan temuannya (foto: dok pri)
Kompasiana yang Pertama Diberi Kabar

Sebagaimana diketahui, tim ekspedisi 100 hari di puncak gunung Merbabu yang terdiri atas Raka Metta Wantoro, Bayu Ramadhon dan Dani Adi Kusuma, Kamis (20/7) lalu secara resmi meninggalkan Base Camp Thekelan (BCT), Batur, Getasan, Kabupaten Semarang untuk memulai pendakian. Kendati minim dukungan, namun, mereka bertekad akan tinggal selama 100 hari di puncak yang suhunya sangat ekstrim itu.

Belakangan diketahui, karena faktor keluarga, Bayu Ramadhon yang warga Tambakromo, Panjong, Kabupaten Gunung Kidul, DIY terpaksa mengundurkan diri sehingga ekspedisi hanya dilanjutkan dua orang. Menurut Raka selaku koordinator ekspedisi, keberadaan mereka di puncak gunung Merbabu bukan untuk mencari sensasi. Pasalnya, selama 100 hari mereka memiliki misi merestorasi Kentheng Songo yang banyak  dicorat-coret oknum tidak bertanggung jawab, konservasi berbagai jenis tanaman, konservasi beragam binatang, konservasi jalur pendakian hingga pembuatan tanda petunjuk di jalur-jalur pendakian.

Dani & Raka saat memberikan penjelasan (foto: dok pri)
Dani & Raka saat memberikan penjelasan (foto: dok pri)
Kentheng Songo sendiri, kata Raka, sebenarnya dengan dibantu oleh pendaki lainnya sudah dibersihkan dari berbagai coretan menggunakan cat mau pun pilox. Sayangnya, belakangan muncul para pendaki amatir yang secara sembunyi- sembunyi kembali melakukan aksi corat coret di lokasi sakral tersebut.

Berkaitan hal tersebut, pihaknya meminta agar siapa pun yang melakukan pendakian tidak meninggalkan jejak negatif seperti sampah, corat- coret, merusak tanaman mau pun mengubah papan petunjuk jalan. Sebab, dengan menjaga kelestarian Merbabu, maka sama halnya merawat alam guna kepentingan anak cucu di masa mendatang.

Diakui Raka, keberadaan tim ekspedisi di puncak Merbabu memang miskin dukungan. Kendati begitu, pihaknya tak mau meminta bantuan kepada instansi tertentu mau pun pihak- pihak yang berkepentingan.  

"Selain para pendaki asal Ungaran yang banyak memberikan support, kami juga berterima kasih kepada pak Bambang Setyawan dari Kompasiana yang sudah gencar menulis sekaligus membantu tenda dome, meja tulis serta logistik lainnya," jelasnya.

Begini bentuk lumpang batu temuan Raka & Dani (foto: dok Raka)
Begini bentuk lumpang batu temuan Raka & Dani (foto: dok Raka)
Memang, pasca terdengar kabar bahwa kondisi tenda dome tim ekspedisi sudah tak layak pakai, saya mewakili Kompasiana bersama rekan-rekan relawan Salatiga segera mengirimkan tenda dome kapasitas 4 orang, meja tulis lipat dan sayuran ke base camp Thekelan yang menjadi pintu masuk pendakian. Bantuan yang diterima Rohmad (warga Thekelan) langsung diserahkan pada Raka. " Bantuan itu sangat berarti bagi kami," ungkapnya.

Tenda dome bantuan pembaca Kompasiana (foto: dok Raka)
Tenda dome bantuan pembaca Kompasiana (foto: dok Raka)
Karena Kompasiana konsisten menulis tentang sepak terjang tim ekspedisi, ungkap Raka, maka ketika pihaknya menemukan lumpang batu, ia berharap Kompasiana menjadi media pertama yang mendengar sekaligus menayangkannya. " Bagi kami, Kompasiana sangat mendukung aktivitas kami," jelasnya mengakhiri perbincangan.

Itulah perkembangan terakhir dari puncak gunung Merbabu, kiranya saat hujan mulai mengguyur bumi, termasuk kawasan Kentheng Songo, Raka mau pun Dani mampu menyelesaikan misinya dengan selamat. Begitu pun dengan temuannya, tak ada salahnya kalangan arkeolog sigap menindaklanjutinya siapa tahu hal ini mampu menyingkap kehidupan di masa lalu di puncak Merbabu. Salam rimba !.(*)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun