Geliat wisata desa yang ada di wilayah Kabupaten Semarang, rupanya membuat warga Dusun Banjaran, Desa Kesongo, Kecamatan Tuntang tergerak untuk untuk membikin destinasi wisata. Kendati tak mempunyai modal materi, namun, mereka nekad berupaya sekuat tenaga guna mewujudkannya, berikut catatannya.
Gunung Payung yang terletak di Desa Kesongo, sebenarnya tidak layak dinamakan sebagai gunung. Pasalnya, ketinggiannya hanya berkisar 650 mdpl sehingga lebih pantas disebut bukit. Namun, karena predikat itu telah disandang sejak jaman baehula, maka masyarakat mempertahankannya hingga sekarang ini. Memang, untuk menuju puncaknya orang dipaksa melalui jalur yang menanjak tajam, masih ditambah selepas aspal melewati jalan tanah. Saat kondisi hujan, alamat pengendara sepeda motor perlu sedikit keahlian berakrobat.
Pada awal merintis, puluhan anak muda yang berada di puncak Gunung Payung sengaja meratakan lahan. Saat kerja bakti itulah, muncul gagasan memanfaatkan bebatuan besar yang banyak teronggok di lokasi. Akhirnya batu- batu tersebut dipecah beramai- ramai dan dijual sebagai bahan fondasi bangunan. Hasil penjualannya dibelikan beragam bambu untuk mendirikan gubuk mau pun tempat selfie.
Karena minimnya dana , hingga tiga bulan berjalan TPBK kondisinya masih ala kadarnya. Kendati telah didirikan beberapa gubuk bambu beratap ilalang yang bisa untuk berteduh sekaligus selfie bagi pengunjung, namun, sarana dan prasarana pendukung lainnya masih perlu pembenahan. Dalam hal ini, warga sudah menyiapkan kamar kecil guna mengantisipasi pengunjung yang ingin buang air.
Destinasi Wisata Gratis
Tekad warga Dusun Banjaran untuk mewujudkan destinasi wisata alam di perkampungan yang berada di ujung aspal ini, sepertinya layak diapresiasi. Meski harus bersusah payah mengumpulkan bebatuan, mengangkut material bambu ke lokasi. Kegigihan mereka terlihat saat sore hari, semisal hujan tak mengguyur, mereka tetap getol memecah bebatuan.
Hasil kerja keras tersebut bukannya tanpa kendala, sebab, tak sedikit warga yang berseberangan menentang niat baik ini. Namun, hal itu diabaikan oleh anak- anak muda yang menginginkan kampungnya lebih dikenal. Mereka masa bodoh terhadap orang yang mengabaikan gagasannya. " Wajar kalau ada yang tak setuju, apa pun niat kita, pasti mengundang pro dan kontra," kata Pendi datar.
Menyadari TPBK masih harus banyak dibenahi, warga sampai sekarang belum memungut biaya masuk areal wisata ini. Pengunjung hanya disediakan kotak khusus untuk menampung sumbangan sekedarnya, begitu pun parkir kendaraan juga bebas bea. " Untuk sumbangan, bagi yang enggan menyumbang juga tidak kami paksa," jelas Pendi.
Selepas Dusun Banjaran, tepatnya ketika jalan aspal habis, maka pengunjung harus melewati jalan tanah selebar 2 meteran. Ketika musim kemarau, tidak ada kendala yang berarti. Namun, saat usai diguyur hujan, jangan mencoba memaksakan kehendak. Pasalnya, pengendara motor harus siap jatuh bangun. Yang pasti, melalui track tersebut, adrenalin dijamin terdongkrak.
Itulah catatan tentang tekad anak- anak muda Dusun Banjaran yang ingin membuat kampungnya lebih dikenal, paradigma yang menyebutkan bahwa mendirikan destinasi wisata perlu dana besar, telah mereka patahkan. Dengan modal dengkul, mereka berupaya mewujudkannya. Apresiasi setinggi- tingginya terhadap kemauan keras mereka, lanjutkan anak muda !. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H