Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Ratusan Pejuang Getasan Dibantai di Sini

17 Agustus 2017   18:01 Diperbarui: 18 Agustus 2017   17:18 8574
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di tepi jalan raya tapi jarang dilongok (Dokumentasi Pribadi)

Tugu Makam Pahlawan di Dusun Kedayon, Desa Wates, Getasan, Kabupaten Semarang sepintas tidak terlihat istimewa, Pasalnya, kendati berlokasi di tepi jalan raya Salatiga -Kopeng, namun, nampak tersembunyi di balik pepohonan yang ada di bukit kecil. Padahal, tersimpan kisah tragis di tempat ini. Ratusan pejuang dibantai militer Belanda dan dikubur secara massal .

Karena penasaran, hari ini Kamis (17/8) ketika bangsa Indonesia memperingati ulang tahun kemerdekaannya yang ke 72, saya berupaya menelusuri jejak kekejian militer Belanda di bumi Getasan. Tidak seperti galibnya makam pahlawan yang diwarnai nisan- nisan berjajar rapi, di sini tak terlihat satu nisan pun. Yang menjadi tanda hanyalah tugu setinggi sekitar 4 meter dengan prasasti yang menyebutkan bahwa para pahlawan gugur akibat kekejaman Belanda antara tahun 1947- 1949.

Dalam prasasti yang dibuat tanggal 17 Agustus 1957 tersebut, tak disebutkan siapa- siapa yang pernah dikubur di lokasi ini. Hanya menurut Tukinem, warga Dusun Kedayon yang rumahnya berada di dekat Taman Makam Pahlawan Getasan, orang yang dibunuh secara massal jumlahnya ratusan. " Saya tidak tahu persis, karena saya hanya mendapat cerita dari almarhum bapak saya," ungkap perempuan berusia 75 tahun tersebut.

Di tepi jalan raya tapi jarang dilongok (Dokumentasi Pribadi)
Di tepi jalan raya tapi jarang dilongok (Dokumentasi Pribadi)
Menurutnya, yang tahu persis kondisi pembantaian adalah mbah Ngatmin, warga Dusun Deplongan yang juga masuk wilayah desa Wates. Pasalnya, mbah Ngatmin merupakan anggota veteran yang di jaman pemerintahan kolonial Belanda aktif berjuang demi kemerdekaan Republik Indonesia. " Sampean naik sedikit, sudah sampai Deplongan," jelasnya sembari menunjuk arah jalan raya.

Tanpa menunggu lebih lama, rumah mbah Ngatmin segera saya sambangi. Sungguh celaka, ternyata pejuang 45 tersebut, siang tadi usai dikebumikan karena pagi harinya meninggal dunia. Untungnya, berdasarkan petunjuk warga, saya diarahkan pada rumah mbah Sutarmo yang tinggal di dusun yang sama.  Beliau juga seorang veteran yang puluhan tahun memanggul senjata melawan militer Belanda.

Tukinem yang tinggal dekat lokasi (Dokumentasi Pribadi)
Tukinem yang tinggal dekat lokasi (Dokumentasi Pribadi)
Tidak sulit menemukan rumah mbah Sutarmo yang biasa disapa Tarmo, hebatnya, kakek ini mengaku lahir di tahun 1901. Artinya, di tahun 2017 usianya sudah mencapai 106 tahun. Kendati tubuhnya masih terlihat bugar, namun, mata dan telinganya telah jauh berkurang fungsinya. Untuk komunikasi, lawan bicaranya harus sedikit teriak agar mampu dicernanya.

Saat saya bertandang, Tarmo tengah duduk di teras rumahnya. Sorot matanya tak lagi fokus pada lawan bicara, tetapi, ketika disinggung soal masa perjuangan, matanya langsung berbinar. " Yang sangat tahu persis adalah saudara saya si Ngatmin, tapi hari ini sudah meninggal," ujarnya serasa seakan memberi kabar duka.

Sedikitnya 400 Orang Dibantai

Meski begitu, Tarmo masih berupaya mengingat kejadian -- kejadian tragis yang menimpa para pejuang mau pun rakyat jelata yang dianggap berpotensi mendukung Republik. Dirinya yang aktif melakukan perang gerilya, memang jarang pulang ke kampungnya. Namun, berdasarkan informasi yang didapat saat perjuangan, sedikitnya 400 orang dibantai di Tugu Makam Pahlawan.

Pembunuhan massal tersebut, lanjut Tarmo, tidak dilakukan secara serentak. Puluhan pejuang yang tertangkap pihak Belanda, biasanya digiring menuju bukit kecil yang sekarang menjadi lokasi Tugu Makam Pahlawan. Selanjutnya, oleh militer Belanda, para tahanan diperintah menggali lobang sendiri. Ketika lobang pemakaman telah siap, mereka langsung dieksekusi menggunakan senapan mesin.

Sutarmo, pejuang berusia 106 tahun (Dokumentasi Pribadi)
Sutarmo, pejuang berusia 106 tahun (Dokumentasi Pribadi)
Jenasah- jenasah itu langsung dijebloskan ke dalam lobang yang dibuatnya sendiri, selanjutnya rakyat yang tinggal di sekitar lokasi disuruh menguburnya. " Rakyat dibawah todongan senjata disuruh nimbun lobang berisi mayat dengan tanah, hal ini juga dimaksudnya untuk menakuti rakyat supaya tidak ikut- ikutan melawan Belanda," jelasnya terbata.

Karena pemakaman bersifat massal, tentunya segala ritual penguburan tidak ditempuh. Tak ada doa pengiring mau pun taburan bunga, yang muncul hanya ketakutan serta kesunyian. Mungkin, militer Belanda sengaja memanfaatkan tempat ini sebagai ladang pembantaian sekaligus shock therapy bagi rakyat yang mencoba berpihak kepada pejuang.

Di sini sedikitnya 400 pejuang gugur (Dokumentasi Pribadi)
Di sini sedikitnya 400 pejuang gugur (Dokumentasi Pribadi)
"Kekejaman di jaman itu, seperti tak mengenal arti perikemanusiaan. Nyawa pejuang tidak ada harganya sama sekali. Setiap kali ditangkap, malam dibawa ke lokasi, besoknya sudah jadi jenat (almarhum)," kata Tarmo yang setiap bulan mendapat tunjangan sebesar Rp 2.250.000 dari pemerintah.

Menurut Tarmo, memasuki tahun 50 an, jenasah yang terpendam di lokasi, selanjutnya dievakuasi oleh pemerintah untuk dimakamkan ulang di Taman Makam Pahlawan Kota Salatiga. Diperkirakan terdapat 400 an jenasah yang dievakuasi, kendati begitu, tak tertutup kemungkinan masih ada kerangka yang tertinggal.

Sebelum mengakhiri penuturannya, Tarmo sempat berpesan agar istilah penjajahan tidak lagi terjadi di bumi ini. Pasalnya, berbagai  bentuk penjajahan selalu menghalalkan segala cara untuk menghilangkan nyawa orang- orang yang berpotensi melakukan perlawanan. " Sudahlah, kiranya apa yang terjadi di Republik ini jangan sampai terulang. Kami telah kenyang penderitaan dan perjuangan, jangan sampai anak cucu mengalaminya," ungkapnya serius.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun