Tugu Makam Pahlawan di Dusun Kedayon, Desa Wates, Getasan, Kabupaten Semarang sepintas tidak terlihat istimewa, Pasalnya, kendati berlokasi di tepi jalan raya Salatiga -Kopeng, namun, nampak tersembunyi di balik pepohonan yang ada di bukit kecil. Padahal, tersimpan kisah tragis di tempat ini. Ratusan pejuang dibantai militer Belanda dan dikubur secara massal .
Karena penasaran, hari ini Kamis (17/8) ketika bangsa Indonesia memperingati ulang tahun kemerdekaannya yang ke 72, saya berupaya menelusuri jejak kekejian militer Belanda di bumi Getasan. Tidak seperti galibnya makam pahlawan yang diwarnai nisan- nisan berjajar rapi, di sini tak terlihat satu nisan pun. Yang menjadi tanda hanyalah tugu setinggi sekitar 4 meter dengan prasasti yang menyebutkan bahwa para pahlawan gugur akibat kekejaman Belanda antara tahun 1947- 1949.
Dalam prasasti yang dibuat tanggal 17 Agustus 1957 tersebut, tak disebutkan siapa- siapa yang pernah dikubur di lokasi ini. Hanya menurut Tukinem, warga Dusun Kedayon yang rumahnya berada di dekat Taman Makam Pahlawan Getasan, orang yang dibunuh secara massal jumlahnya ratusan. " Saya tidak tahu persis, karena saya hanya mendapat cerita dari almarhum bapak saya," ungkap perempuan berusia 75 tahun tersebut.
Tanpa menunggu lebih lama, rumah mbah Ngatmin segera saya sambangi. Sungguh celaka, ternyata pejuang 45 tersebut, siang tadi usai dikebumikan karena pagi harinya meninggal dunia. Untungnya, berdasarkan petunjuk warga, saya diarahkan pada rumah mbah Sutarmo yang tinggal di dusun yang sama. Â Beliau juga seorang veteran yang puluhan tahun memanggul senjata melawan militer Belanda.
Saat saya bertandang, Tarmo tengah duduk di teras rumahnya. Sorot matanya tak lagi fokus pada lawan bicara, tetapi, ketika disinggung soal masa perjuangan, matanya langsung berbinar. " Yang sangat tahu persis adalah saudara saya si Ngatmin, tapi hari ini sudah meninggal," ujarnya serasa seakan memberi kabar duka.
Sedikitnya 400 Orang Dibantai
Meski begitu, Tarmo masih berupaya mengingat kejadian -- kejadian tragis yang menimpa para pejuang mau pun rakyat jelata yang dianggap berpotensi mendukung Republik. Dirinya yang aktif melakukan perang gerilya, memang jarang pulang ke kampungnya. Namun, berdasarkan informasi yang didapat saat perjuangan, sedikitnya 400 orang dibantai di Tugu Makam Pahlawan.
Pembunuhan massal tersebut, lanjut Tarmo, tidak dilakukan secara serentak. Puluhan pejuang yang tertangkap pihak Belanda, biasanya digiring menuju bukit kecil yang sekarang menjadi lokasi Tugu Makam Pahlawan. Selanjutnya, oleh militer Belanda, para tahanan diperintah menggali lobang sendiri. Ketika lobang pemakaman telah siap, mereka langsung dieksekusi menggunakan senapan mesin.
Karena pemakaman bersifat massal, tentunya segala ritual penguburan tidak ditempuh. Tak ada doa pengiring mau pun taburan bunga, yang muncul hanya ketakutan serta kesunyian. Mungkin, militer Belanda sengaja memanfaatkan tempat ini sebagai ladang pembantaian sekaligus shock therapy bagi rakyat yang mencoba berpihak kepada pejuang.
Menurut Tarmo, memasuki tahun 50 an, jenasah yang terpendam di lokasi, selanjutnya dievakuasi oleh pemerintah untuk dimakamkan ulang di Taman Makam Pahlawan Kota Salatiga. Diperkirakan terdapat 400 an jenasah yang dievakuasi, kendati begitu, tak tertutup kemungkinan masih ada kerangka yang tertinggal.
Sebelum mengakhiri penuturannya, Tarmo sempat berpesan agar istilah penjajahan tidak lagi terjadi di bumi ini. Pasalnya, berbagai  bentuk penjajahan selalu menghalalkan segala cara untuk menghilangkan nyawa orang- orang yang berpotensi melakukan perlawanan. " Sudahlah, kiranya apa yang terjadi di Republik ini jangan sampai terulang. Kami telah kenyang penderitaan dan perjuangan, jangan sampai anak cucu mengalaminya," ungkapnya serius.