Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Mural-mural Merdeka di Kota Salatiga

13 Agustus 2017   17:46 Diperbarui: 23 Agustus 2017   13:59 3150
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mural di jalan Progo, Kalioso (foto: dok pri)

Ritual rutin warga Kota Salatiga menjelang hari ulang tahun Kemerdekaan RI, yakni mempercantik gapura, belakangan bertambah. Mereka mulai memberikan warna -- warna pada tembok kusam dengan berbagai mural nan ciamik. Seperti apa aktifitas mereka, berikut penelusurannya Minggu (13/8) siang.

Seperti galibnya warga di berbagai pelosok Republik ini, setiap memasuki bulan Agustus, masyarakat secara berjamaah menghiasi kampungnya dengan berbagai pernak pernik berbau merah putih. Di mana, yang dominan adalah gapura yang menjadi pintu masuk perkampungan. Selain dicat ulang, juga dipasang aneka asesoris kemerdekaan. Begitu juga warga Salatiga, nyaris setiap hari, mereka kerja bhakti menghias jalan- jalan di sepanjang wilayahnya.

Yang membedakan dengan kota mau pun kabupaten lainnya, warga Salatiga sudah tiga tahun terakhir getol mempercantik kampungnya dengan beragam mural. Baik bertema kemerdekaan maupun mural- mural lainnya sehingga membuat kampung lebih berwarna. Kendati belum semua kampung melakukannya, namun, langkah ini sangat layak diapresiasi.

Mural , sebenarnya merupakan seni melukis di atas permukaan (kanvas) besar, bisa berupa dinding mau pun tembok. Lukisan mural sudah dikenal di jaman pemerintahan kolonial Belanda, di mana, para seniman pejuang, kerap membuat lukisan di tempat- tempat publik guna membangkitkan semangat patriotisme melawan segala bentuk penjajahan.

Mural di Karang Pete Salatiga (foto: dok pri)
Mural di Karang Pete Salatiga (foto: dok pri)
Mural sendiri, mulai bermunculan di Kota Salatiga sejak 6 tahun lalu, pelopornya adalah sekumpulan anak muda yang tergabung dalam Salatiga Street Art. Dengan personil mencapai 30 an orang, mereka mengekspresikan gejolaknya melalui ilustrasi dan grafis di kanvas- kanvas raksasa. Tentunya,  biaya yang timbul didapat secara patungan. Hasilnya, di berbagai sudut kota, tembok- tembok kaku telah berubah menjadi cantik.

Bahkan, di Jalan RW Monginsidi, terdapat pagar tembok milik hotel Maya yang panjangnya mencapai sekitar 200 meter. Karena jarang dicat ulang, ditambah permukaannya bukan plesteran yang diaci maka dindingnya terlihat kusam dan kumuh. Oleh anak- anak Salatiga Street Art, langsung disulap dengan beragam mural sehingga tembok panjang tersebut sekarang terlihat bergairah penuh warna.

Mural di dinding SD Salatiga V (foto: dok pri)
Mural di dinding SD Salatiga V (foto: dok pri)
Dalam perjalanannya, belakangan di Kota Salatiga banyak bermunculan komunitas -- komunitas mirip Salatiga Street Art. Bagusnya, mural yang sebelumnya kerap diabaikan, akhirnya menginspirasi warga untuk ikut menghiasi tembok- tembok di kampungnya dengan beragam mural. Ada yang digambar sendiri, namun beberapa di antaranya mengundang pelukis, tentunya tidak gratisan.

Untuk yang swadaya, terlihat di kampong Pancuran, Karang Pete hingga Kalioso. Di Pancuran, warga tak menggambar mural, namun, jalanan di perkampungan sengaja diberikan cat warna warni sehingga terlihat elok dipandang. Sementara di Karang Pete, mural- mural lama masih tetap bertengger, sepertinya belum disegarkan kembali.

Jumadi dan dua anaknya tengah melukis (foto: dok pri)
Jumadi dan dua anaknya tengah melukis (foto: dok pri)
Melukis Mural Gratis

Di kampung Kalioso, tembok sepanjang hampir 100 meter yang sebelumnya terlihat angkuh tanpa warna, hari- hari terakhir ini sudah penuh lukisan. Adalah Jumadi Soekarno pensiunan PNS yang mempeloporinya. Siang tadi, ia bersama dua anak gadisnya menarikan kuas di atas permukaan tembok. Meski panas menyengat, tiga orang tersebut nampak asyik membuat aneka mural.

Menurut Jumadi, untuk menggambar di atas kanvas besar, dirinya hanya menggunakan cat tembok warna putih. Agar kaya warna, selanjutnya warna dasar putih ia campur dengan pigmen warna. " Kita beli di toko besi, tinggal mencampurnya dengan warna putih langsung bisa diaplikasikan," jelasnya.

Mural produk Jumadi (foto: dok pri)
Mural produk Jumadi (foto: dok pri)
Untuk membuat mural sepanjang 100 meter, lanjut Jumadi, dirinya dibantu warga lainnya. Di mana, setelah permukaan tembok diberikan warna dasar putih, barulah tangannya membuat sketsa untuk diperjelas warga lainnya. Meski begitu, perannya memang lebih dominan karena tidak semua orang mampu memberikan warna secara rapi.

" Karena saya sudah pensiun, jadi waktu saya lebih banyak luangnya. Untuk menggambar mural, saya memang tidak memungut biaya sepeser pun, yang penting bahan baku disediakan," ungkapnya.

Di Kota Salatiga sendiri, sosok mirip Jumadi jumlahnya tidak terhitung. Para jagoan mural itu ada yang tergabung dalam berbagai komunitas, sedangkan pelukisnya memiliki wadah Wahana Seni Rupa Salatiga (Wasesa). Untuk yang terakhir, mereka kerap menggelar pameran baik di dalam kota mau pun luar daerah.

Pamflet yang merusak keindahan mural (foto: dok pri)
Pamflet yang merusak keindahan mural (foto: dok pri)
Hanya sayangnya,proteksi terhadap karya seniman mural, khususnya yang ada di jalan raya sama sekali tidak ada. Banyak sekali lukisan- lukisan bagus yang ditutup oleh pamflet promosi, mulai iklan rokok hingga obat terlambat datang bulan. Idealnya, pihak pemerintah setempat menerbitkan Peraturan Daerah (Perda) tentang pemasangan pamflet agar mampu melindungi mural yang tersebar.

Itulah sedikit penelusuran tentang mural- mural merdeka di Kota Salatiga, harusnya pihak pemerintah kota mampu membuat terobosan agar aktifitas positif ini terus bergairah. Hal paling memungkinkan adalah lomba mural di masing- masing kampung dengan memperebutkan tropy mau pun uang tunai (pembinaan). Sebab, hal ini mampu membuat Salatiga semakin lebih berwarna.

Pagar keliling Balai Kota yang terkesan kaku (foto: dok pri)
Pagar keliling Balai Kota yang terkesan kaku (foto: dok pri)
Di Kota Salatiga sendiri, masih banyak ditemukan tembok- tembok tinggi tanpa warna sehingga terkesan angkuh. Bahkan, tembok pagar di belakang Balai Kota Salatiga yang panjangnya mencapai 100 an meter, dibiarkan kusam. Padahal, semisal dipanggilkan para seniman mural, dijamin membuat mata makin segar. Toh paling banter hanya mernyediakan cat serta minuman, kenapa tak dilakukan ? Yang pasti, Art4All bakal membuat hidup makin hidup. Merdeka ! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun