Ritual rutin warga Kota Salatiga menjelang hari ulang tahun Kemerdekaan RI, yakni mempercantik gapura, belakangan bertambah. Mereka mulai memberikan warna -- warna pada tembok kusam dengan berbagai mural nan ciamik. Seperti apa aktifitas mereka, berikut penelusurannya Minggu (13/8) siang.
Seperti galibnya warga di berbagai pelosok Republik ini, setiap memasuki bulan Agustus, masyarakat secara berjamaah menghiasi kampungnya dengan berbagai pernak pernik berbau merah putih. Di mana, yang dominan adalah gapura yang menjadi pintu masuk perkampungan. Selain dicat ulang, juga dipasang aneka asesoris kemerdekaan. Begitu juga warga Salatiga, nyaris setiap hari, mereka kerja bhakti menghias jalan- jalan di sepanjang wilayahnya.
Yang membedakan dengan kota mau pun kabupaten lainnya, warga Salatiga sudah tiga tahun terakhir getol mempercantik kampungnya dengan beragam mural. Baik bertema kemerdekaan maupun mural- mural lainnya sehingga membuat kampung lebih berwarna. Kendati belum semua kampung melakukannya, namun, langkah ini sangat layak diapresiasi.
Mural , sebenarnya merupakan seni melukis di atas permukaan (kanvas) besar, bisa berupa dinding mau pun tembok. Lukisan mural sudah dikenal di jaman pemerintahan kolonial Belanda, di mana, para seniman pejuang, kerap membuat lukisan di tempat- tempat publik guna membangkitkan semangat patriotisme melawan segala bentuk penjajahan.
Bahkan, di Jalan RW Monginsidi, terdapat pagar tembok milik hotel Maya yang panjangnya mencapai sekitar 200 meter. Karena jarang dicat ulang, ditambah permukaannya bukan plesteran yang diaci maka dindingnya terlihat kusam dan kumuh. Oleh anak- anak Salatiga Street Art, langsung disulap dengan beragam mural sehingga tembok panjang tersebut sekarang terlihat bergairah penuh warna.
Untuk yang swadaya, terlihat di kampong Pancuran, Karang Pete hingga Kalioso. Di Pancuran, warga tak menggambar mural, namun, jalanan di perkampungan sengaja diberikan cat warna warni sehingga terlihat elok dipandang. Sementara di Karang Pete, mural- mural lama masih tetap bertengger, sepertinya belum disegarkan kembali.
Di kampung Kalioso, tembok sepanjang hampir 100 meter yang sebelumnya terlihat angkuh tanpa warna, hari- hari terakhir ini sudah penuh lukisan. Adalah Jumadi Soekarno pensiunan PNS yang mempeloporinya. Siang tadi, ia bersama dua anak gadisnya menarikan kuas di atas permukaan tembok. Meski panas menyengat, tiga orang tersebut nampak asyik membuat aneka mural.
Menurut Jumadi, untuk menggambar di atas kanvas besar, dirinya hanya menggunakan cat tembok warna putih. Agar kaya warna, selanjutnya warna dasar putih ia campur dengan pigmen warna. " Kita beli di toko besi, tinggal mencampurnya dengan warna putih langsung bisa diaplikasikan," jelasnya.
" Karena saya sudah pensiun, jadi waktu saya lebih banyak luangnya. Untuk menggambar mural, saya memang tidak memungut biaya sepeser pun, yang penting bahan baku disediakan," ungkapnya.
Di Kota Salatiga sendiri, sosok mirip Jumadi jumlahnya tidak terhitung. Para jagoan mural itu ada yang tergabung dalam berbagai komunitas, sedangkan pelukisnya memiliki wadah Wahana Seni Rupa Salatiga (Wasesa). Untuk yang terakhir, mereka kerap menggelar pameran baik di dalam kota mau pun luar daerah.
Itulah sedikit penelusuran tentang mural- mural merdeka di Kota Salatiga, harusnya pihak pemerintah kota mampu membuat terobosan agar aktifitas positif ini terus bergairah. Hal paling memungkinkan adalah lomba mural di masing- masing kampung dengan memperebutkan tropy mau pun uang tunai (pembinaan). Sebab, hal ini mampu membuat Salatiga semakin lebih berwarna.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H