Yazid Khairil Aziz pemuda asal Desa Rowoboni, Banyubiru, Kabupaten Semarang yang baru berusia 26 tahun itu, dalam dua tahun terakhir berhasil membuat destinasi wisata sarat tantangan. Dengan memanfaatkan sungai Muncul dan bermodalkan lima buah ban bekas, ia mendirikan Muncul River Tubing (MRT). Seperti apa kiprahnya, berikut catatannya.
Seperti galibnya pemuda kebanyakan, Yazid Khairil Aziz yang biasa disapa dengan sebutan Yazid, mempunyai hobi berpetualang di alam terbuka. Dari soal daki mendaki, hingga aktifitas rafting di air berarus deras kerap dilakoninya. Maklum, rumahnya memang tak jauh dari sumber air, yakni kolam renam Muncul yang usianya sudah mencapai ratusan tahun.
Hingga tahun 2013 lalu, saat ada pembangunan talut sungai Muncul, kebetulan para pekerjanya menggunakan ban dalam bekas untuk mengangkut pasir mau pun material lainnya. " Waktu itu ada lima ban dalam jenis truck trailer yang ukurannya paling besar. Ban- ban tersebut dimanfaatkan untuk mengangkut material di sungai Muncul," ungkapnya, Jumat (14/7) sore.
Kebetulan, Yajid sehari-hari  bekerja di perusahaan air minum yang lokasinya tak jauh dari rumahnya. Otomatis, di sela kesibukan, pasti mampu menangani paket river tubing dengan menggunakan sarana lima ban bekas tersebut. Terkait hal itu, didirikanlah MRT dengan tambahan dukungan jaket pelampung seharga @ Rp 90.000. Jadi, total investasi yang dibenamkan di bisnis basah ini, totalnya hanya Rp 90.000 kali 5 yakni : Rp 450.000.
Dengan menggunakan jejaring pertemanan di media sosial, Yajid getol menjaring para wisatawan lokal untuk mencoba paket yang ditawarkan MRT. Di mana, paket yang disediakan meliputi  short bertarif Rp 40.000 dan  long Rp 50.000 (perorang). " Untuk short sejauh 1,9 kilometer sedangkan long sepanjang 2,5 kilometer, atau finish di Dusun Rowo Ganjar," jelasnya.
Memanfaatkan rumah orang tuanya yang tak begitu luas, Yajid mulai merintis MRT dengan berbagai peralatan yang serba darurat. Untungnya, jarak rumah ke sungai Muncul hanya berkisar 50 meter, sehingga, segala kendala mampu diminimalisir. "Jadi, rumah merangkap gudang, merangkap kantor dan merangkap tempat istirahat," jelasnya sembari tertawa.
Secara perlahan, MRT mulai direspon positif oleh para petualang yang gemar bermain air. Sepertinya, menyusuri sungai dengan kedalaman 1- 1,5 meter menggunakan ban bekas, mampu mendongkrak adrenalin. Bagaimana tidak ? Selain mengambang di atas air, kerap terjadi peserta harus piawai menghindari perahu- perahu milik nelayan yang sengaja ditambatkan di sepanjang sungai. Belum lagi, senggolan antar peserta memaksa mengundang gelak tawa.
Menurut Hengki, biasanya ia bersama rekan- rekannya berjumlah 20 orang, di akhir pekan bertandang ke sungai Muncul. Mengambil paket long, mereka beramai- ramai menyusuri aliran air yang memakan waktu hampir 40 menit. " Usai menempuh perjalanan di atas air , pikiran rasanya fresh lagi," ungkapnya dengan mimik serius.
Menurut Yajid, dalam perkembangan bisnis basah dalam arti sebenarnya ini, ternyata sangat menggemberikan. Dalam dua tahun saja, modal lima ban dan 5 pelampung sudah meningkat pesat. Sekarang ini, ban miliknya yang dibeli seharga Rp 50.000 perbuah, telah mencapai 70 buah. Begitu pun jaket pelampung, mempunyai jumlah yang sama. Kalau dulunya untuk mengisi angin harus pergi ke tukang tambal ban, saat ini dirinya telah menyediakan kompresor sendiri.
Itulah sedikit catatan tentang upaya menyajikan destinasi wisata murah meriah ala pemuda asal Dusun Muncul. Paradigma bahwa wisata harus menelan investasi besar, sengaja ia patahkan. Hanya bermodal 5 ban bekas plus 5 jaket pelampung, faktanya mampu menyuguhkan petualangan bagi para wisatawan lokal. Harusnya, hal ini bisa menginspirasi Indonesia. Pemuda- pemuda yang merasa memiliki "syahwat" memajukan kampungnya, tak perlu menunggu lebih lama, segera bangkit dan majukan ndesomu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H