Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Berani Uji Stamina di Lereng Kelir?

5 Juli 2017   17:28 Diperbarui: 9 Juli 2017   13:20 2443
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Baru 300 meter harus menghela nafas dulu (foto: dok pri)

Namanya Lereng Kelir, terletak di Desa Brongkol, Jambu, Kabupaten Semarang yang oleh warga setempat, belakangan dijajakan menjadi tujuan wisata bagi orang- orang yang berstamina prima. Kenapa harus punya modal stamina ? Berikut adalah penelusurannya, Rabu (5/7) siang untuk Kompasiana tentunya.

Disebut Lereng Kelir (dalam bahasa Indonesia kira- kira berarti tebing warna), untuk menuju ke sini  dari Kota Salatiga berjarak sekitar 20 kilometer yang biasa ditempuh 25 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Begitu tiba di Kecamatan Banyubiru, ambil jalan pintas menuju Desa Brongkol hingga tiba di pertigaan kecil yang baliho petunjuknya tak terlihat karena dipasang agak menjorok ke dalam.

Begitu mulai memasuki Desa Brongkol yang dikenal sebagai sentra durian di Kabupaten Semarang, maka, kita akan disuguhi jalan aspal yang menanjak tajam. Maklum, tujuan akhirnya adalah Gunung Kelir yang mempunyai ketinggian sekitar  1.300 mdpl, otomatis kendaraan bermotor harus dipaksa melakukan pendakian. Hingga tiba di perkampungan, nampak baliho berukuran lumayan besar terpampang di sebelah patung buah durian berukuran raksasa. Di sini, pengunjung diarahkan ke Dusun Gertas.

Durian raksasa yang jadi ikon Desa Brongkol (foto: dok pri)
Durian raksasa yang jadi ikon Desa Brongkol (foto: dok pri)
Bila merunut jarak tempuh, maka dari jalan raya Banyubiru hingga Dusun Gertas mencapai 5 kiloan meter. Sedangkan jalur yang menanjak kurang lebih 2 kilometer. Begitu memasuki kawasan Dusun Gertas, beberapa anak muda sudah menghadang dan menarik parkir sebesar Rp 3.000 (untuk sepeda motor). Sementara, di dekat parkiran, terdapat loket sederhana yang dijaga lima laki- laki. Biaya masuk Rp 5.000 hari biasa dan Rp 7.000 di hari libur.

Sebenarnya dengan menyebut dari Kompasiana, bisa dipastikan bebas bea. Tapi, kebetulan kami tidak suka yang gratisan, maka, tetap saja membayar Rp 10.000 untuk dua orang. " Hari biasa, jumlah pengunjung rata- rata 50- 100 orang, tapi kalau hari libur bisa mencapai 500 orang," kata Trimulyo (35) yang mengaku sebagai Koordinator penarikan restribusi.

Pemandangan dari puncak Lereng Kelir (foto: dok pri)
Pemandangan dari puncak Lereng Kelir (foto: dok pri)
Menurut Trimulyo, obyek wisata Lereng Kelir, sebenarnya baru dikelola secara serius oleh Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Brongkol sekitar bulan April lalu. Di mana, kendati perintisannya dimulai tahun 2016, namun, sempat terhenti cukup lama. Setelah disadari Gunung Kelir mampu dijajakan, akhirnya Ketua Pokdarwis menjalin kerjasama dengan Karang Taruna setempat kembali mengoptimalkan keberadaan Lereng Kelir. " Dipimpin pak Susilo sebagai Ketua Pokdarwis, akhirnya mulai lahan parkir hingga puncak gunung dibenahi," ungkapnya.

Pembenahan yang dimaksud Trimulyo, meliputi dibangunnya gardu pandang, akses jalan selebar 1 meter hingga SDM pendukung lainnya. Untuk menuju puncak Lereng Kelir, pihak Pokdarwis menyiapkan empat pos yang dilengkapi bangunan kayu sederhana sekedar buat berteduh pengunjung mau pun selfie. Sementara di puncaknya, selain terdapat tulisan besar Lereng Kelir  berukuran besar, juga didirikan menara pandang yang tak mengenal kosa kata sepi bagi pengunjung yang selfie.

Baru 300 meter harus menghela nafas dulu (foto: dok pri)
Baru 300 meter harus menghela nafas dulu (foto: dok pri)
Uji Stamina dan Nyali

Menurut Trimulyo, setelah Lereng Kelir dibuka untuk pecinta wisata, ada implikasi positif yang dipetik masyarakat Dusun Gertas. Di mana, warga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan selain bertani, belakangan mampu mengais rejeki melalui usaha membuka warung minuman mau pun kuliner. Kebetulan, di dusun ini, selain buah durian yang jadi andalan, juga terdapat kopi olahan yang diberi nama Kopi Lereng Kelir.

Setelah berbincang, karena penasaran dengan apa yang dituturkan Trimulyo, akhirnya kami memulai aktifitas baru, yakni hiking melewati trackberupa jalan makadam selebar 1 meteran.  Jarak menuju Pos 1 dari lokasi parkiran sekitar 500 meter, namun, tanjakannya memiliki sudut kemiringan 70 derajat. Inilah yang membuat dengkul terasa mau lepas dan nafas serasa sesak. Kendati begitu, karena kanan kiri dipenuhi tanaman kopi yang menghijau, maka rasa lelah agak berkurang.

Begini tracknya (foto: dok pri)
Begini tracknya (foto: dok pri)
Hingga perjalanan kaki diteruskan menuju Pos 2, maka, nafas pun semakin berat. Di sini, stamina dan nyali kita diuji. Mau lanjut atau kembali turun ke bawah. Meneruskan ke Pos 3 serta 4 artinya harus menguras tenaga selama 45 an menit lagi, kembali ke parkiran juga butuh waktu yang lebih pendek , akhirnya kami putuskan kembali naik ke puncak.

Dalam hiking melewati jalanan bebatuan, berpapasan dengan pengunjung lain yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang. Sementara, anggota Kopdarwis juga tidak terlihat batang hidungnya. Padahal, lokasinya sangat sepi dan rawan terjadi kecelakaan kecil seperti terpeleset mau pun kehabisan tenaga. Maklum, benar- benar tracknya sangat tajam. Sulit terbayangkan bila hujan mengguyur, jalur ini dipastikan licin hingga bakal sukses menjatuhkan pengunjung.

Tulisan Lereng Kelir hasil swadaya Pokdarwis (foto: dok pri)
Tulisan Lereng Kelir hasil swadaya Pokdarwis (foto: dok pri)
Hingga akhirnya, kendati terseok- seok selama 45 menit, akhirnya tiba juga di puncak Lereng Kelir. Ada sekitar 100 an anak- anak muda , baik laki- laki mau pun perempuan. Mereka berebut selfie dengan berbagai gaya, praktis, kami yang paling senior di sini. Otomatis, kalah oleh anak- anak muda itu bila ingin berselfie. Jadinya, kami hanya sebatas menikmati pemandangan di ketinggian 1.300 mdpl.

Berada di puncak Lereng Kelir, kita serasa tengah di awan. Sejauh mata memandang, nampak pemandangan yang sangat luar biasa. Hamparan air Rawa Pening, rumah- rumah di Kecamatan Ambarawa hingga Gunung Ungaran, Sumbing mau pun Telomoyo sangat jelas terlihat. Ya Allah, sungguh hebat ciptaanMu. Hampir 30 menit di sini, pengunjung bukannya berkurang, makin sore jumlahnya terus bertambah. Bahkan, terdapat kelompok remaja tengah mendirikan tenda. " Kami biasa camping di sini, paling tidak sebulan skali," kata Bagus (20) mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Semarang.

Menurut Bagus, biasanya kelompok yang melakukan camping di puncak Lereng Kelir, saban malam jumlahnya mencapai 5- 10 kelompok. Karena di sini tidak ada lampu penerangan, maka, masing- masing kelompok selalu membekali diri dengan lampu emergency. Sementara untuk perbekalan,  malam mau pun pagi hari kerap memiliki menu sama, yakni mie instan. " Malam hari di sini, pemandangannya sangat indah. Karena lampu- lampu di segala penjuru terlihat kerlap kerlip," ungkapnya.

Hal yang paling ditunggu, lanjut Bagus, yang pertama adalah sunsetmenjelang maghrib. Di mana, sinar kekuningan beranjak ke peraduan, konon sangat indah. Begitu pun selepas subuh, sunrise yang ada , menurutnya sangat memukau. " Biasanya, pk 09.00 kami sudah turun lagi," jelasnya.

Tanaman kopi produk unggulan Desa Brongkol (foto: dok pri)
Tanaman kopi produk unggulan Desa Brongkol (foto: dok pri)
Karena waktu sudah memasuki pk 16.00, kami pun memutuskan turun meninggalkan para pemburu sunset dan sunrise tersebut. Bila saat naik butuh waktu hampir 1,5 jam, sebaliknya ketika turun, kami hanya perlu waktu 45 menit. Giliran tiba di parkiran, kami agak kebingungan mau pulang melalui route berangkat atau jalur lain. Semisal lewat jalur berangkat, sepertinya kami akan bertaruh nyawa. Pasalnya, kami telah berpengalaman 5 kali mengalami rem blong dari berbagai lokasi yang berada di ketinggian. Motor matic, memang rawan alami lepas rem.

Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya kami sepakat pulang mengambil jalur lain, yakni lewat Bedono yang kondisinya jalannya relatif lebih landai.Meski harus memutar sejauh 6 kilometer, namun, yang pasti tak pakai rem blong segala. Jadi, semisal anda tertarik dengan tantangan, silahkan datang ke Lereng Kelir. Cobalah stamina dan nyali anda, bila nantinya sampai puncak, artinya stamina anda sangat bagus. Selamat mencobanya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun