Namanya Lereng Kelir, terletak di Desa Brongkol, Jambu, Kabupaten Semarang yang oleh warga setempat, belakangan dijajakan menjadi tujuan wisata bagi orang- orang yang berstamina prima. Kenapa harus punya modal stamina ? Berikut adalah penelusurannya, Rabu (5/7) siang untuk Kompasiana tentunya.
Disebut Lereng Kelir (dalam bahasa Indonesia kira- kira berarti tebing warna), untuk menuju ke sini  dari Kota Salatiga berjarak sekitar 20 kilometer yang biasa ditempuh 25 menit perjalanan dengan menggunakan kendaraan bermotor. Begitu tiba di Kecamatan Banyubiru, ambil jalan pintas menuju Desa Brongkol hingga tiba di pertigaan kecil yang baliho petunjuknya tak terlihat karena dipasang agak menjorok ke dalam.
Begitu mulai memasuki Desa Brongkol yang dikenal sebagai sentra durian di Kabupaten Semarang, maka, kita akan disuguhi jalan aspal yang menanjak tajam. Maklum, tujuan akhirnya adalah Gunung Kelir yang mempunyai ketinggian sekitar  1.300 mdpl, otomatis kendaraan bermotor harus dipaksa melakukan pendakian. Hingga tiba di perkampungan, nampak baliho berukuran lumayan besar terpampang di sebelah patung buah durian berukuran raksasa. Di sini, pengunjung diarahkan ke Dusun Gertas.
Sebenarnya dengan menyebut dari Kompasiana, bisa dipastikan bebas bea. Tapi, kebetulan kami tidak suka yang gratisan, maka, tetap saja membayar Rp 10.000 untuk dua orang. " Hari biasa, jumlah pengunjung rata- rata 50- 100 orang, tapi kalau hari libur bisa mencapai 500 orang," kata Trimulyo (35) yang mengaku sebagai Koordinator penarikan restribusi.
Pembenahan yang dimaksud Trimulyo, meliputi dibangunnya gardu pandang, akses jalan selebar 1 meter hingga SDM pendukung lainnya. Untuk menuju puncak Lereng Kelir, pihak Pokdarwis menyiapkan empat pos yang dilengkapi bangunan kayu sederhana sekedar buat berteduh pengunjung mau pun selfie. Sementara di puncaknya, selain terdapat tulisan besar Lereng Kelir  berukuran besar, juga didirikan menara pandang yang tak mengenal kosa kata sepi bagi pengunjung yang selfie.
Menurut Trimulyo, setelah Lereng Kelir dibuka untuk pecinta wisata, ada implikasi positif yang dipetik masyarakat Dusun Gertas. Di mana, warga yang sebelumnya tidak memiliki pekerjaan selain bertani, belakangan mampu mengais rejeki melalui usaha membuka warung minuman mau pun kuliner. Kebetulan, di dusun ini, selain buah durian yang jadi andalan, juga terdapat kopi olahan yang diberi nama Kopi Lereng Kelir.
Setelah berbincang, karena penasaran dengan apa yang dituturkan Trimulyo, akhirnya kami memulai aktifitas baru, yakni hiking melewati trackberupa jalan makadam selebar 1 meteran. Â Jarak menuju Pos 1 dari lokasi parkiran sekitar 500 meter, namun, tanjakannya memiliki sudut kemiringan 70 derajat. Inilah yang membuat dengkul terasa mau lepas dan nafas serasa sesak. Kendati begitu, karena kanan kiri dipenuhi tanaman kopi yang menghijau, maka rasa lelah agak berkurang.
Dalam hiking melewati jalanan bebatuan, berpapasan dengan pengunjung lain yang jumlahnya tak lebih dari 10 orang. Sementara, anggota Kopdarwis juga tidak terlihat batang hidungnya. Padahal, lokasinya sangat sepi dan rawan terjadi kecelakaan kecil seperti terpeleset mau pun kehabisan tenaga. Maklum, benar- benar tracknya sangat tajam. Sulit terbayangkan bila hujan mengguyur, jalur ini dipastikan licin hingga bakal sukses menjatuhkan pengunjung.
Berada di puncak Lereng Kelir, kita serasa tengah di awan. Sejauh mata memandang, nampak pemandangan yang sangat luar biasa. Hamparan air Rawa Pening, rumah- rumah di Kecamatan Ambarawa hingga Gunung Ungaran, Sumbing mau pun Telomoyo sangat jelas terlihat. Ya Allah, sungguh hebat ciptaanMu. Hampir 30 menit di sini, pengunjung bukannya berkurang, makin sore jumlahnya terus bertambah. Bahkan, terdapat kelompok remaja tengah mendirikan tenda. " Kami biasa camping di sini, paling tidak sebulan skali," kata Bagus (20) mahasiswa salah satu perguruan tinggi di Kota Semarang.
Menurut Bagus, biasanya kelompok yang melakukan camping di puncak Lereng Kelir, saban malam jumlahnya mencapai 5- 10 kelompok. Karena di sini tidak ada lampu penerangan, maka, masing- masing kelompok selalu membekali diri dengan lampu emergency. Sementara untuk perbekalan, Â malam mau pun pagi hari kerap memiliki menu sama, yakni mie instan. " Malam hari di sini, pemandangannya sangat indah. Karena lampu- lampu di segala penjuru terlihat kerlap kerlip," ungkapnya.
Hal yang paling ditunggu, lanjut Bagus, yang pertama adalah sunsetmenjelang maghrib. Di mana, sinar kekuningan beranjak ke peraduan, konon sangat indah. Begitu pun selepas subuh, sunrise yang ada , menurutnya sangat memukau. " Biasanya, pk 09.00 kami sudah turun lagi," jelasnya.