Kristina Susiana Sihombing, gadis berdarah Batak berusia 30 tahun sungguh layak diapresaiasi. Melihat sangat minimnya fasilitas bacaan di Kabupaten Intan Jaya, Papua, ia pun berjuang menyebarkan virus literasi di Medan yang berbukit guna mencerdaskan anak-anak di sana. Seperti apa kiprahnya? Berikut catatannya untuk Indonesia.
Lajang yang sehari-harinya tinggal di Desa Bilai, Distrik Homeyo, Kabupaten Intan Jaya, sebenarnya belum lama menginjakkan kakinya di tanah Papua. Tahun 2014 lalu, dirinya memasuki kawasan kaya sumber daya alam itu sebagai guru kontrak di sekolah unggulan Tiom, Kabupaten Lanny Jaya." Baru bulan Desember 2015, saya pindah ke Kabupaten Intan Jaya," ungkapnya dalam komunikasi jarak jauh, Selasa (20/6) siang.
Melihat kondisi anak-anak Kabupaten Intan Jaya yang dahaga buku bacaan, karena memang tak memiliki perpustakaan daerah, Kristiana merasa trenyuh. Bagaimana tidak? Situasi di sini ibarat bumi dengan langit dibandingkan kabupaten atau kota lain di tanah Jawa, khususnya perihal literasinya. Bahkan, di sekolah-sekolah juga minim buku bacaan.
Di sini, yang namanya sinyal internet adalah barang mewah, sinyal hanya berlaku untuk komunikasi telepon dan pesan singkat. Itu pun, bila ada hujan serta kabut maka semua perangkat teknologi komunikasi tak berdaya. "Kalau pada hari biasa, dari pukul 6.00 sampai pukul 14.00, selanjutnya nyala lagi pukul 17.00 sampai pukul 21.00, selanjutnya istirahat," kata Kristina serius.
Topografi yang ekstrem juga memiliki andil besar dalam sulitnya transportasi darat, sarana paling mudah didapat adalah ojek. Tarifnya gila-gilaan. Sedangkan untuk menuju ibu kota Provinsi Jayapura, warga harus menggunakan pesawat perintis yang memakan waktu 1,5 jam, transit dulu di Kabupaten Nabire. Yang pasti, secara keseluruhan kabupaten ini sangat ketinggalan di semua lini.
Dengan kondisi alam yang sedemikian, tak pelak, istilah literasi menjadi kosakata yang nyaris terhapus dari kamur bahasa. Hal itulah yang membuat Kristina teramat sangat prihatin. Ia yang begitu mencintai tanah Papua, dirinya yang menyayangi anak-anak berambut keriting dan berkulit hitam, berupaya berjuang menularkan virus literasi. Kendati begitu, ada kebingungan karena pada dasarnya Kristina awam literasi.
Kristina awalnya agak gamang, harus memulai dari mana. Hingga akhirnya, ia bertemu pentolan Pustaka Bergerak Indonesia, Irwan Arsuka. "Orang gila" literasi ini, memberikan support terhadap Kristina. Menurutnya, terisolasi bukan berarti akan menghambat literasi." Banyak saran dan petunjuk yang saya dapatkan dari Bapak Nirwan sehingga saya semakin bergairah mendirikan perpustakaan bagi anak- anak di sini," jelas Kristina.