Membangun citra positif atas suatu media apa pun di masyarakat bukanlah suatu hal yang mudah, demikian pula dengan Kompasiana. Hampir dua tahun sebagai Kompasianer, saya berupaya membenamkan blog keroyokan ini menjadi blog yang kredibel dan dapat dipercaya, minimal di Kota Salatiga. Seperti apa langkah- langkahnya, berikut catatannya.
Kendati di Kota Salatiga mau pun Kabupaten Semarang terdapat banyak Kompasianer, namun, nama Kompasiana memang relatif kurang dikenal oleh masyarakat setempat. Anak kandung Kompas Group tersebut kalah dibanding media cetak  terbitan Kota Semarang dan media online asal ibu kota. Tapi, hal itu terjadi dua tahun lalu, tepatnya di tahun- tahun 2015 an.
Hingga saya bergabung di Kompasiana, sekitar akhir tahun 2014, saya berupaya menyigi penyebab blog keroyokan kebanggaan ratusan ribu Kompasianertersebut kurang dikenal oleh publik. Melalui berbagai diskusi dengan beberapa masyarakat yang ngeh terhadap media online, belakangan ketemu biang keladinya. Yakni, warga tak mengenal karena tidak pernah dikenalkan oleh Kompasianernya.
Begitu pun dengan komentar, beragam komentar terkadang mencapai ratusan sehingga membuat repot diri sendiri. Terkadang, artikel yang sudah terposting juga dishare banyak orang. Biasanya, reportase yang mengandung nilai –nilai inspiratif, dalam hitungan jam kerap dishare tanpa ijin atau atas seijin saya. Bagi saya, hal itu bukan suatu persoalan yang harus dipermasalahkan.
Tidak sulit menemukan parameter bahwa Kompasiana sudah menemukan segmen pembacanya, selain postingan di group facebook selalu dibanjiri pembaca, juga terlihat seringnya pesan melalui inbok yang meminta saya untuk menulis sesuatu yang menarik di kampungnya. Mulai hal terkait peninggalan sejarah, kejadian kriminal, birokrasi hingga aktifitas sosial. Mereka sangat paham, untuk kegiatan promosi produk, pasti bakal saya abaikan.
Kejadian – kejadian yang mempunyai nilai human interest tinggi memang selalu saya prioritaskan. Hal ini tak hanya di sekitar Salatiga mau pun Kabupaten Semarang saja, sebab, terkadang saya merambah hingga Kabupaten Boyolali. Salah satunya mengenai Warjiman, laki- laki yang mengalami kelumpuhan 20 tahun namun tak pernah menerima perawatan medis. Paska kisahnya tayang di Kompasiana, pihak- pihak terkait langsung membawanya ke Rumah Sakit Umum guna mendapat bantuan medis.
Mungkin, jajaran birokrasi di Kabupaten Boyolali menganggap saya usai menulis akan melupakannya. Dugaan tersebut keliru besar, sebab, sepekan kemudian saya menyambanginya kembali. Hasilnya, Warjiman sudah dipulangkan paksa sehingga saya pun menulis untuk kali kedua. Lucunya, setelah saya geber tiga kali artikel, pria malang tersebut baru menerima perawatan yang agak memadai. Mereka sepertinya lupa bahwa siri saya selalu mempunyai kedekatan emosional dengan sumber.