Sebagai kota paling toleran nomor dua di Indonesia versi Setara Institute, Kota Salatiga layak disebut memiliki toleransi tinggi terhadap apa pun, termasuk prostitusi. Kendati lokalisasi satu- satunya sudah dinyatakan ditutup tahun 2000 an, namun, faktanya aktifitas penjaja syahwat masih tetap berlangsung. Seperti apa perjalanan para pekerja seks komersial (PSK) tersebut, berikut penelusurannya untuk Kompasiana.
Seorang perempuan muda, dengan make up agak menor, berambut pirang dan berpakaian minimalis mengendarai sepeda motor menjelang senja. Melewati jalan Diponegoro selanjutnya berbelok menuju Jalan Ki Penjawi, tujuannya jelas yakni area Wisata Karaoke Sarirejo, terletak di Kelurahan Sidorejolor, Sidorejo, Kota Salatiga. Begitu tiba di lokasi, motornya diparkir di salah satu tempat Karaoke serta bergegas bergabung bersama rekan”sejawatnya”.
Perempuan muda tersebut, selanjutnya banyak mengumbar senyum terhadap para laki- laki yang bertandang ke tempat kerjanya. Ya, ia biasa disebut sebagai pemandu karaoke (PK) atau pemandu lagu (PL). Kendati suaranya tak merdu- merdu amat, bahkan cenderung fals, namun, bermodalkan tubuh yang semok plus keganjenan, toh faktanya banyak konsumen yang membookingnya. Untuk menemani tamu selama 1 jam, dirinya memperoleh imbalan berkisar Rp 30.000- Rp 50.000.
Semakin banyak tamunya menenggak miras , maka secara otomatis, pundi- pundi pengelola ikut terdongkrak. Dan, minuman laknat tersebut memang merupakan sumber duit terbesar di lokasi ini. Sebab, harganya jelas lebih mahal dibanding harga di luar, bahkan ada yang mematok harga dua kali lipat. “ Semakin kepala pusing akibat miras, maka semakin tak terkontrol dalam memesan botolan,” ungkap Adi.
Di kawasan yang hanya seluas satu RW ini,diduga perputaran uang setiap malamnya mencapai ratusan juta, hitungan kasar saja, 50 tempat karaoke omzet permalam rata- rata minimal menangguk Rp 10 juta. Hasilnya Rp 500 juta !, sungguh sesuatu yang menggiurkan di tengah sulitnya mencari uang halal. “ Tidak usah heran kalau di sini pak anu mau pun pak nganu punya beberapa room ,” kata salah satu mantan PK .
Di luar menemani tamu bernyanyi, PK biasanya juga bisa dibooking untuk keperluan yang lain. Apa lagi kalau bukan demi pelampiasan syahwat sesaat, tarifnya berkisar Rp 150.000- Rp 300.000 sekali kencan. Body dan wajah seorang PK ikut berperan menentukan rendah tingginya tarif. Kendati tak semuanya bersedia diajak ngamar, tapi hampir bisa dipastikan 70 persen ogah menolak ajakan sampingan tersebut.
Berbeda jaman Sarirejo masih sebagai lokalisasi PSK, tamu langsung to the point dalam bertransaksi esek- esek. Di mana, begitu tamu datang, memandang PSK yang dinilai rupawan, maka langsung dealdan ngamar di tempat. Sebaliknya, yang terjadi sekarang, tamu harus melalui ritual berkaraoke, nenggak miras, transaksi baru bisa membawa keluar perempuan penjaja cinta sesaat itu. Tentunya, serangkaian prosesi tersebut semakin menguras isi kantong.
Ya, hal ini memang merupakan bagian dari inovasi para mucikari. Saat lokalisasi diberangus, mereka pun kreatif mengembangkan industri esek- esek melalui berbagai cara. Karena karaoke tengah menjadi trend sejak tahun 2005 an, maka cara itulah yang ditempuh. Kendati investasi yang dibenamkan lumayan besar, namun break event point (BEP) juga relatif cepat.
Berbicara Wisata Karaoke Sarirejo, sepertinya kurang pas tanpa mengupas awal keberadaannya. Kawasan ini dulunya dikenal sebagai lokalisasi bernama Sembir yang dirintis oleh almarhum Samad. Pria bertubuh agak gemuk tersebut merupakan lagenda Sembir hingga akhir hayatnya. Di tahun 70 an hingga 90 an, dirinya dikenal merupakan mucikari yang mempunyai anak buah berwajah lumayan.