Mural, seni melukis di tembok saat ini semakin berkibar di Kota Salatiga. Baik dari segi teknik lukisan mau pun kelonggaran aparat keamanan dalam memberikan ruang gerak layak diapresiasi. Yang jadi masalah adalah musuh utama para seniman jalanan, yakni pamlet promosi mau pun kepentingan kampanye. Berikut penulusurannya, Rabu (26/4) sore, untuk Kompasiana tentunya.
Sejak 6 tahun lalu, pagar- pagar tembok di berbagai sudut Kota Salatiga mulai terlihat segar karena penuh warna warni cat yang ditorehkan anak- anak muda yang tergabung dalam Salatiga Street Art. Dengan personil mencapai 30 an orang, mereka mengekspresikan gejolaknya melalui ilustrasi dan grafis di kanvas- kanvas raksasa. Tentunya, biaya yang timbul dirogoh dari kantong masing- masing.
Salatiga Street Art sendiri, sebenarnya terbentuk secara tak sengaja. Awalnya, anak- anak muda itu biasa nongkrong di salah satu warung bubur kacang ijo. Dari sekedar obrolan ngalor ngidul, akhirnya disepakati untuk membuat kelompok yang fokus pada seni mural. Tahap perdana, disiginya tembok- tembok di penjuru kota untuk dijadikan kanvas.Tidak sulit menemukan sasaran, di Jalan RW Monginsidi, terdapat pagar tembok milik hotel Maya yang panjangnya mencapai sekitar 200 meter.
Setelah permukaan dirasa telah memadai, para seniman jalanan pun mulai beraksi. Berbagai lukisan serta graffiti secara perlahan namun pasti ditorehkan di tembok milik almarhum Soekardjo seorang advokat jaman orde lama tersebut. Hasilnya, sungguh ciamik. Pagar keliling yang memanjang 200 an meter tak lagi terlihat angkuh dalam kesuraman. Ada spirit serta semangat kehidupan di kanvas raksasa itu.
Keberadaan Salatiga Street Art,rupanya menginspirasi anak- anak muda lainnya. Terbukti, belakangan di kota yang sama muncul komunitas- komunitas yang lain. Tujuannya tidak jauh berbeda, yakni menggoyang kuas di atas permukaan dinding agar membuat Kota Salatiga makin semarak dan lebih berwarna. “ Dari pada corat – coret tidak jelas, ya mendingan disalurkan ke sini,” kata salah satu seniman jalanan ketika beraksi di Jalan Osamaliki.
Dengan semakin banyaknya komunitas mural di Salatiga, tak pelak tembok- tembok yang berwarna pun terus bertambah. Bahkan Salatiga Street Art beberapa kali menggelar festival yang diikuti puluhan seniman asal Jawa Tengah, DIY hingga Jakarta. Tahun 2016 lalu, event ini digelar di sebelah Taman Kota Tingkir yang berlangsung tiga hari berturut- turut.
M. Fikri (25) ketua panitia Salatiga Street Art Festival 2016 mengatakan respon komunitas mural di berbagai kota layak diacungi jempol. Selama tiga hari, peserta dari berbagai mau mengeluarkan biaya menginap, makan dan keperluan lain dengan uang pribadinya masing- masing. “ Kami hanya menyiapkan cat dan pilox saja, selebihnya ditanggung peserta sendiri,” ungkapnya.