Kota Salatiga yang di zaman pemerintahan kolonial Belanda dianggap sebagai poros vital untuk mempertahankan kekuasaannya, ternyata memiliki tiga putra daerah yang berstatus sebagai pahlawan nasional. Sosok pahlawan tersebut terdiri atas Laksamana Muda Yosaphat Sudarso, Marsekal Madya  Agustinus Adisucipto dan Brigadir Jendral (Brigjen) Sudiarto.
Para pahlawan yang biasa disebut Yos Sudarso, Adisucipto dan Sudiarto selain diabadikan sebagai nama jalan protokol, untuk menghormati jasanya juga dibuatkan monumen berikut patungnya di lapangan Pancasila, Kota Salatiga. Sayang, monumen yang dibangun tahun 1974 Â tersebut, kondisinya lumayan memperihatinkan. Selain bentuknya terlalu sederhana, bahkan layak disebut sangat ketinggalan jaman, juga tak ada keterangan tentang nama- nama pahlawan.
Dulu, bagian bawah dekat fondasi merupakan tembok plesteran yang dipasang ubin abu- abu. Namun karena di kanan kiri monumen  ditanam dua pohon peneduh, maka dalam perkembangannya akar pohon sukses mendongkel adonan semen. Sampai sekarang hal tersebut dibiarkan seakan pihak terkait ingin memperlihatkan sesuatu yang terkesan alami.
Didominasi warna putih, kuda- kuda itu seakan melambangkan kekuatan dan semangat yang tiada kenal kosa kata berhenti. Siapa pun yang melihatnya pasti mampu mengenali bahwa patung- patung itu adalah seekor binatang, tapi bila ditanya apa relevansinya dengan Republik ini, maka orang bakal terbengong- bengong sulit menjawabnya. Mungkin, di zaman pemerintahan kolonial Belanda, kuda dianggap sangat  berjasa sebagai penarik dokar.
Bila merunut pembuatan monumen tiga pahlawan nasional di lapangan Pancasila di tahun 1974, kemungkinan besar saat APBD Kota Salatiga baru berkisar Rp 100 jutaan. Sekarang ini, setelah 43 tahun besar APBD sudah membengkak berlipat- lipat. Tahun 2016 lalu saja mencapai hampir Rp 1 triliun, namun, keberadaan patung produk orde baru sama sekali tak alami perubahan sedikit pun.
Padahal, seni patung telah mengalami kemajuan pesat. Bukan hanya dari bahan baku semen belaka, sekarang beragam bahan pembuatan patung seperti  fiber, tembaga hingga bebatuan andesit banyak digunakan para seniman. Hasilnya, selain memiliki nilai artistik yang tinggi, juga terkesan lebih natural. Entah kenapa pemerintah kota Salatiga belum memikirkan monumen pengganti.
Tak bijak bila menyoroti keberadaan monumen tentang tiga pahlawan nasional asal salatiga tanpa mengupas bagaimana sepak terjang mereka dalam mempertahankan negara ini. Pasalnya, mereka bertiga sudah mengorbankan nyawanya demi terbentuknya Negara Kesatuan Republik Indonesia.