“Ini adalah bukti bahwa kesenian wayang sangat elastis dan bisa masuk dalam agama apa pun. Sebab, tidak ada satu pun agama yang mengajarkan keburukan, demikian juga dengan wayang, kebatilan pasti diceritakan akan kalah oleh kebaikan,” ujar Harjo.
Karena semakin hari wayang kulit klasik semakin tergerus jaman, ungkap Harjo, maka banyak dalang yang berinovasi seperti Ki Enthus, Ki Joko Edan mau pun nama- nama lainnya. Kendati begitu, dirinya tetap mengapresiasi terobosan tersebut selama alur cerita tidak keluar dari pakem pewayangan.
Memang, untuk melestarikan pewayangan, khususnya wayang kulit, dibutuhkan Harjo- Harjo muda. Pasalnya, bila mengacu penggemar kesenian tradisional ini hanya sebatas orang- orang berusia lanjut, maka bisa dipastikan wayang kulit akan tamat riwayatnya seiring berpulangnya para penggemarnya.
Itulah sedikit gambaran kesenian wayang kulit di perkotaan, khususnya Kota Salatiga. Secara perlahan namun pasti, keberadaannya mulai ditinggalkan penggemarnya. Anak- anak muda jaman sekarang, sepertinya lebih suka menikmati pertunjukan musik dangdut sembari berjoget dan tentunya terlebih dulu menenggak minuman keras. Goyangan pinggul penyanyi dangdut yang kerap berpakaian minimalis, rupanya asyik dinikmati dibanding lantunan tembang Jawa yang dinyanyikan pesinden. Sungguh memperihatinkan, padahal suara sinden jauh lebih merdu. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H