Danau alam Rawa Pening yang berada di wilayah Kabupaten Semarang sebenarnya merupakan kawasan perairan yang mampu menghidupi ribuan orang, sayang belakangan pesonanya dirusak oleh tanaman liar enceng gondok sehingga menyebabkan para nelayan kelimpungan. Begitu menggilanya gulma ini, sampai- sampai menguasai sekitar 80 persen luas rawa tersebut dan membuat pening kepala daerahnya.
Nama latinnya sungguh indah, yakni Eichhornia crassipes atau bahasa Indonesianya enceng gondok, sedangkan warga setempat menyebutnya bengok. Sayang, keindahan nama latin itu tak secantik dampak yang ditimbulkan. Di mana, setelah sukses menguasai mayoritas permukaan air, nelayan pun kesulitan menjala ikan. Konon, ikan- ikan lebih suka bersembunyi di bawah gulma tersebut sehingga jaring nelayan sulit menjangkaunya.
Padahal, kalau untuk sekedar menyambung hidup, Rawa Pening masih konsisten menyediakannya. Paling tidak, dengan memanfaatkan enceng gondok yang sampai sekarang belum mampu dimusnahkan, warga bisa bertahan. Salah satunya adalah bu Yanto (40) warga Desa Rowoboni, Banyubiru, Kabupaten Semarang. “ Suami saya yang mengambil enceng gondok, saya yang bertugas menjemurnya,” katanya ketika ditemui di pinggir jalan desa.
Dengan begitu, duet suami istri tersebut dalam sehari mampu mendapatkan penghasilan sekitar Rp 65.000 plus Rp 47.000. Bukan jumlah yang sedikit bagi ukuran masyarakat pedesaan, mengingat beras biasanya panen sendiri dan lauk ala kadarnya. Yang lumayan tinggi adalah pengeluaran untuk anak sekolah. Pasalnya, tiga orang anaknya semua bersekolah di Ambarawa sehingga membutuhkan uang transport. “ Yang SMP memang gratis, tapi untuk yang SMA selain tetap membayar uang bulanan juga membutuhkan sangu(bekal) berangkatnya,” tuturnya.
Batang enceng gondok yang disetorkan bu Yanto pada pengepul, selanjutnya dibawa ke Jogjakarta untuk dijadikan beragam kerajinan seperti tas, mebel mau pun sandal. Tentunya harganya makin berlipat- lipat setelah berubah wujut. Di pasaran, sepasang sandal japit saja dipatok harga Rp 30.000, padahal tak menghabiskan 1 ons enceng gondok kering.
Dari apa yang dikerjakan oleh bu Yanto, tentunya ini merupakan bagian menyiasati menggilanya enceng gondok di Rawa Pening. Ketika ikan sulit dijaring, maka gulma pun dijadikan duit. Pertanyaannya, apakah langkah mereka juga diikuti warga lainnya ? Ternyata tidak, warga (khususnya kaum pria) lebih suka bekerja di proyek atau kuli bangunan dengan jam kerja yang panjang. Sementara untuk “memanen” enceng gondok, sekali berangkat tak butuh waktu berjam- jam.
Berbagai cara sudah dilakukan pemerintah kabupaten Semarang untuk mengatasi populasi enceng gondok, hal tersebut terlihat di Desa Asinan, Kecamatan Tuntang. Sedikitnya terdapat tiga unit alat berat seperti Loader , Backhoe,Dozer hingga Dump Truck yang dikerahkan untuk mengangkat gulma dari perairan Rawa Pening. Hanya hasilnya tetap belum juga maksimal.
Kabupaten Semarang yang mempunyai APBD sekitar Rp 2 triliun sepertinya tidak ada salahnya melakukan uji coba menebar benih ikan grass carp di Rawa Pening. Tentunya dukungan pihak legislatif dan segenap pemangku kepentingan juga sangat dibutuhkan. Siapa tahu, enceng gondok yang menguasai hampir seluruh permukaan air mampu dilenyapkan oleh grass carp sehingga Rawa Pening tak lagi membuat pening. (Bersambung)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H