Untuk kesekian kalinya bertandang ke kawasan Candi Gedong Songo,Bandungan, Kabupaten Semarang, sepertinya pesona wisata di tempat ini tak pernah pudar. Sayang, pengelola lamban dalam melengkapi fasilitas publik, sehingga terkesan seadanya. Ibarat berbenah, namun hanya setengah hati, berikut penelusurannya untuk Kompasiana.
Rabu (1/3) siang saya bersama mantan kekasih kembali mengunjungi Candi Gedong Songo, bukan apa- apa, ada keinginan berendam di kolam air panas yang kandungan belerangnya cukup tinggi. Istilah orang kota, relaksasi agar segala penat raib. Kalau hanya melihat candi- candi, saya sudah berulangkali dan pernah mengupasnya di Kompasiana sekitar setahun lalu. Pada kesempatan terakhir, saya melihat kawasan tersebut mulai bersolek.
Selepas melewati pintu gerbang, pengunjung bebas mengunjungi bangunan- bangunan kuno berupa candi peninggalan budaya Hindu tahun 927 masehi. Hanya sayangnya, lokasi satu candi dengan yang lainnya terletak lumayan jauh. Tanpa dukungan stamina yang mumpuni, alamat terseok- seok. “ Naik kuda saja, bisa keliling dari satu candi ke candi yang lain,” kata seorang penyedia jasa kuda.
Melewati jalur khusus kuda, kendati kondisi jalan sudah menggunakan tegel batu, namun di beberapa titik terlihat lethong alias kotoran kuda.Hal ini membuat pemandangan jadi kurang nyaman, harusnya pengelola Candi Gedong Songo mewajibkan pemilik tunggangan melengkapinya dengan kantong penampung kotoran. Sehingga, kesan bersih semakin terasa.
Begitu pun di sebelah kanan jalan, terdapat puluhan lampu taman yang berada di dalam kotak cukup artistik. Ternyata, ketika diteliti, semuanya tidak ada balonnya. Bahkan, terlihat satu dua kotak lampu tergeletak tanpa perawatan. Susah membayangkan semisal pengunjung pulang agak kesorean, pasalnya selain track menurun tajam, pasti gelap gulita.
Padahal, lokasi ini teramat sangat indah. Berada di ketinggian 1.200 mdpl serta suhu berkisar 17-19 derajat celcius maka udara yang dihirup bakal terasa segar. Sebab, berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh Universitas Gajah Mada Yogyakarta, udara di kawasan Gedong Songo merupakan terbersih di Asia. Tak heran, setiap harinya minimal terdapat 100 pengunjung. Sementara di hari libur, wisatawan membludak hingga tembus angka 1.000.
Usai membayar Rp 5.000 perorang, kami memasuki kolam berpagar keliling. Usai melepas pakaian, giliran kami terbingung- bingung, pasalnya, tak ada fasilitas loker tempat penyimpanan. Sedangkan pengunjung lainnya, menyarankan agar pakaian dan barang- barang milik kami ditaruh di pojokan teras kamar mandi. Akibatnya, selama berendam, mata kami harus sering- sering menengok barang yang teronggok. Sebab, kalau diembat orang, bisa kacau dunia.
Sumber air panas di kolam Candi Gedong Songo, sebenarnya diambil dari lereng Gunung Kendalisodo (anak Gunung Ungaran). Oleh pengelola, ditarik menggunakan pipa selanjutnya ditampung di kolam berukuran sekitar 5 X 10 meter. Pengunjung bisa memilih berendam atau hanya mandi di kamar mandi yang juga berair panas. Sembari berendam, terlihat tembok yang berlumut sebagai bukti sangat jarang dibersihkan. Bisa dikata, fasilitasnya seadanya.
Itulah hasil penelusuran kami terhadap salah satu primadona wisata di kabupaten Semarang hari ini. Kesimpulannya, polesan kawasan Candi Gedong Songo hanya dilakukan di bagian wajah saja. Ibarat gadis, make upnya terlihat cantik, namun tubuhnya kurang harum dan berpakaian ala kadarnya. Harusnya, pengelola mulai memikirkan fasilitas publik secara menyeluruh. Pengunjung sudah sepantasnya memperoleh kenyamanan dan keamanan, bukannya berendam merangkap jadi centeng untuk mengawasi barangnya sendiri. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H