Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Berpetualang ke Air Terjun yang Masih Perawan di Semarang

21 Februari 2017   16:58 Diperbarui: 23 Februari 2017   18:24 3711
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Seperti ini air terjun Nggedat yang belum tersentuh tangan Pemkab (foto: dok pri)

Keberadaan tiga air terjun yang terletak di Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, benar- benar sangat luar biasa. Apa lagi, kondisinya masih alami belum tersentuh polesan tangan manusia. Untuk bertandang ke lokasi, memang membutuhkan perjuangan tersendiri. Berikut catatan kunjungan saya, Selasa (21/2) siang bersama keponakan yang tomboy.

Untuk menuju desa Dadapayam, dari kota Salatiga sebenarnya hanya berjarak 15 kilometer. Yang jadi persoalan, angkutan umum sangat minim sehingga orang harus menggunakan kendaraan pribadi. Sekitar pk 11.00, saya bersama keponakan bernama Hanna yang memang demen berpetualang di hutan mau pun gunung, sengaja berangkat mengendarai motor. Melalui jalan aspal yang penuh tanjakan, akhirnya dalam tempo 25 menit sudah tiba di ujung kabupaten Semarang tersebut.

Begitu memasuki desa Dadapayam, kami langsung menuju dusun Bulu, usai memarkirkan motor, kami disapa pemilik warung yang bernama Medi (50). Pria ramah tersebut menjelaskan, untuk menuju air terjun Nggedat harus berjalan kaki sejauh sekitar 300 meter. Tentunya melewati jalan setapak yang membuat badan berkeringat. “Kurang lebihnya berjarak 200 sampai 300 meter, tak jauh dari sini,” katanya.

Air terjun Nggedat Dadapayam (foto: dok pri)
Air terjun Nggedat Dadapayam (foto: dok pri)
Menurut Medi, air terjun di dusun Bulu terdapat tiga titik, yakni Nggedat, Sebrangan dan Pancur. Dari Nggedat ke Sabrangan jaraknya sekitar 400an meter selanjutnya untuk menuju Pancur harus berjalan kaki sejauh 500 meter. Artinya, kalau mau menuntaskan tiga air terjun mau tak mau terpaksa jalan kaki 1 kilometer lebih. Mendengar penjelasan tersebut, Hanna yang biasa disapa neng Hanna langsung antusias.

Tiga air terjun yang semuanya masih perawan, lanjut Medi, sebenarnya sudah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Sayangnya, hingga Indonesia merdeka dan telah memiliki 7 Presiden, lokasi ini tak pernah mendapat sentuhan pihak pemerintah kabupaten Semarang sehingga perkembangannya sangat lamban. “ Mulai ramai ya baru dua bulan terakhir ini,” ungkapnya.

Untuk menjaga agar keberadaan air terjun tidak dinodai tangan- tangan jahil, akhirnya pihak Karang Taruna setempat berinisiatif mengelolanya. Pengunjung hanya diwajibkan membayar restribusi sebesar Rp 5.000 (termasuk parkir) dan bebas melakukan petualangan alam. “ Kalau hari biasa yang berkunjung berkisar 50 an sepeda motor, tapi bila hari libur bisa mencapai 200 an sepeda motor plus mobil,” kata Medi.

Seperti ini jalan menuju air terjun ke dua & tiga (foto: dok pri)
Seperti ini jalan menuju air terjun ke dua & tiga (foto: dok pri)
Menguras Tenaga

Usai menerima penjelasan dari Medi, kami pun segera menuju lokasi pertama, yakni air terjun Nggedat. Dalam hal ini, laki- laki tersebut bersedia memandunya. Melalui jalan setapak, hanya selang 5 menit kami sudah tiba di pancuran air setinggi hampir 25 meter itu. Sungguh luar biasa, terlihat beberapa anak muda bermain air di bawahnya. Saking asyiknya, mereka mengabaikan keberadaan kami.

Di air terjun Nggedat, kami hanya berkisar 10 menitan, pasalnya berita yang kami dengar, air pancur Sabrangan lebih menarik keberadaannya. Berdasarkan kesepakatan, akhirnya kami mulai menyusuri aliran sungai untuk menuju lokasi. Apa yang disampaikan pak Medi yang katanya hanya berjarak 400 an meter, ternyata tidak terbukti. Berdasarkan perkiraan, jaraknya mungkin mencapai di atas 500 meter dan lumayan menguras tenaga.

Sampai juga ke air terjun Sabrangan (foto: dok pri)
Sampai juga ke air terjun Sabrangan (foto: dok pri)
Hingga tiba di air terjun Sabrangan, memang terlihat pemandangan luar biasa. Air yang mengalir dari ketinggian sekitar 25 meter, melewati undakan batu cadas hingga terpecah jadi dua. Di bagian bawahnya, terdapat kolam penampungan alami yang jernih. Cukup lama kami di sini untuk mengembalikan tenaga. Sampai akhirnya, tantangan terakhir, yakni air terjun Pancur yang konon paling mengundang decak kagum.

Seperti biasa, neng Hanna yang memang keranjingan dengan alam spontan beranjak siap meneruskan perjalanan. Padahal, untuk menuju lokasi terakhir, jaraknya lebih dari 1 kilometer. Kalau sebelumnya Medi menyebut hanya sejauh 500 an meter, yang sebenarnya adalah dua atau tiga kali lipatnya. Celakanya, akses terdekat masih tetap sama, menyusuri sungai. Bila melewati persawahan, jarak tempuhnya semakin jauh.

Air terjun Pancur, tujuan terakhir (foto: dok pri)
Air terjun Pancur, tujuan terakhir (foto: dok pri)
Butuh waktu hampir 30 menit untuk sampai air terjun Pancur, tak ada sarana yang memadai di lokasi ini. Kendati tidak jauh dari Pancur terdapat bumi perkemahan, namun, semuanya masih sangat alami. Jangan tanya soal fasilitas MCK , petunjuk arah pun nihil,pokoknya serba berbau alam. Ibarat mau buang air ya tinggal nyaritempat tersembunyi semisal terpaksa dan sudah kebelet banget.

Si tomboy langsung mandi dengan pakaian lengkap (foto: dok pri)
Si tomboy langsung mandi dengan pakaian lengkap (foto: dok pri)
Air terjun di sini, wujutnya agak aneh, kendati berada di ketinggian yang diperkirakan antara 15 hingga 20 meter, namun air mengalir melalui bebatuan cadas. Mulai dari atas sampai bawah, air telah terpecah menjadi beberapa bagian. Seperti biasa, sitomboy langsung selfie berulangkali. Hampir 30 menit kami berada di sini sebelum memutuskan kembali ke warung pak Medi.

Itulah gambaran petualangan kami yang lumayan menguras tenaga, kondisi alam yang benar- benar masih perawan, harusnya bisa dijadikan destinasi wisata yang menarik. Sayangnya, pihak Dinas Pariwisata sama sekali belum tergerak menanganinya. Sehingga, hanya orang-orang yang bernyali saja yang mau bertandang ke tiga lokasi dalam sehari. Anda punya nyali? Silahkan ke sini, dijamin ada sensasi yang beda! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun