Keberadaan tiga air terjun yang terletak di Desa Dadapayam, Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang, benar- benar sangat luar biasa. Apa lagi, kondisinya masih alami belum tersentuh polesan tangan manusia. Untuk bertandang ke lokasi, memang membutuhkan perjuangan tersendiri. Berikut catatan kunjungan saya, Selasa (21/2) siang bersama keponakan yang tomboy.
Untuk menuju desa Dadapayam, dari kota Salatiga sebenarnya hanya berjarak 15 kilometer. Yang jadi persoalan, angkutan umum sangat minim sehingga orang harus menggunakan kendaraan pribadi. Sekitar pk 11.00, saya bersama keponakan bernama Hanna yang memang demen berpetualang di hutan mau pun gunung, sengaja berangkat mengendarai motor. Melalui jalan aspal yang penuh tanjakan, akhirnya dalam tempo 25 menit sudah tiba di ujung kabupaten Semarang tersebut.
Begitu memasuki desa Dadapayam, kami langsung menuju dusun Bulu, usai memarkirkan motor, kami disapa pemilik warung yang bernama Medi (50). Pria ramah tersebut menjelaskan, untuk menuju air terjun Nggedat harus berjalan kaki sejauh sekitar 300 meter. Tentunya melewati jalan setapak yang membuat badan berkeringat. “Kurang lebihnya berjarak 200 sampai 300 meter, tak jauh dari sini,” katanya.
Tiga air terjun yang semuanya masih perawan, lanjut Medi, sebenarnya sudah ada sejak jaman pemerintahan kolonial Belanda. Sayangnya, hingga Indonesia merdeka dan telah memiliki 7 Presiden, lokasi ini tak pernah mendapat sentuhan pihak pemerintah kabupaten Semarang sehingga perkembangannya sangat lamban. “ Mulai ramai ya baru dua bulan terakhir ini,” ungkapnya.
Untuk menjaga agar keberadaan air terjun tidak dinodai tangan- tangan jahil, akhirnya pihak Karang Taruna setempat berinisiatif mengelolanya. Pengunjung hanya diwajibkan membayar restribusi sebesar Rp 5.000 (termasuk parkir) dan bebas melakukan petualangan alam. “ Kalau hari biasa yang berkunjung berkisar 50 an sepeda motor, tapi bila hari libur bisa mencapai 200 an sepeda motor plus mobil,” kata Medi.
Usai menerima penjelasan dari Medi, kami pun segera menuju lokasi pertama, yakni air terjun Nggedat. Dalam hal ini, laki- laki tersebut bersedia memandunya. Melalui jalan setapak, hanya selang 5 menit kami sudah tiba di pancuran air setinggi hampir 25 meter itu. Sungguh luar biasa, terlihat beberapa anak muda bermain air di bawahnya. Saking asyiknya, mereka mengabaikan keberadaan kami.
Di air terjun Nggedat, kami hanya berkisar 10 menitan, pasalnya berita yang kami dengar, air pancur Sabrangan lebih menarik keberadaannya. Berdasarkan kesepakatan, akhirnya kami mulai menyusuri aliran sungai untuk menuju lokasi. Apa yang disampaikan pak Medi yang katanya hanya berjarak 400 an meter, ternyata tidak terbukti. Berdasarkan perkiraan, jaraknya mungkin mencapai di atas 500 meter dan lumayan menguras tenaga.
Seperti biasa, neng Hanna yang memang keranjingan dengan alam spontan beranjak siap meneruskan perjalanan. Padahal, untuk menuju lokasi terakhir, jaraknya lebih dari 1 kilometer. Kalau sebelumnya Medi menyebut hanya sejauh 500 an meter, yang sebenarnya adalah dua atau tiga kali lipatnya. Celakanya, akses terdekat masih tetap sama, menyusuri sungai. Bila melewati persawahan, jarak tempuhnya semakin jauh.
Itulah gambaran petualangan kami yang lumayan menguras tenaga, kondisi alam yang benar- benar masih perawan, harusnya bisa dijadikan destinasi wisata yang menarik. Sayangnya, pihak Dinas Pariwisata sama sekali belum tergerak menanganinya. Sehingga, hanya orang-orang yang bernyali saja yang mau bertandang ke tiga lokasi dalam sehari. Anda punya nyali? Silahkan ke sini, dijamin ada sensasi yang beda! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H