Hotel Kalitaman yang terletak di Jalan Pemuda, Kota Salatiga, merupakan penginapan bergengsi pertama pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Berdiri pada tahun 1900-an, saat itu kaum pribumi diharamkan menginjakkan kakinya di lokasi ini. Setelah satu abad lebih, bagaimana nasibnya? Berikut penelusurannya untuk Kompasiana.
Kota Salatiga yang dulunya merupakan basis militer pasukan Belanda, mempunyai areal- areal khusus yang hanya boleh dihuni orang- orang Eropa. Salah satunya adalah Jalan Toentang (sekarang Jalan Diponegoro), kawasan elite dengan rumah-rumah berhalaman luas. Ada satu-dua pribumi yang bertempat tinggal di lokasi ini, namun bukan pribumi sembarangan. Biasanya adalah sosok yang mempunyai jabatan tinggi di pemerintahan, konglomerat, atau kaum ningrat.
Posisi Salatiga yang strategis untuk pertahanan militer karena terletak di tengah antara Semarang-Surakarta, membuat kota kecil tersebut kerap menerima kunjungan para petinggi pemerintahan kolonial Belanda. Baik pejabat sipil maupun militer datang silih berganti ke kota kecil berudara sejuk tersebut. Konsekuensinya, sebagai tuan rumah sering kelabakan menyiapkan segala sesuatunya.
Kenapa konglomerat tersebut repot-repot menggelontorkan ratusan ribu gulden untuk membangun sarana penginapan? Ternyata, pada tahun 1837 terdengar kabar bahwa Pangeran Henry William Frederick, yakni putra Raja William II mau mengunjungi Salatiga. Terkait hal tersebut, pemerintahan kolonial Belanda merasa perlu menyiapkan sebuah hotel yang representatif.
Kawasan Jalan Pemuda sendiri, saat itu dikenal sebagai daerah permukiman orang Eropa atau (Europesche Wijk), memiliki posisi yang sangat strategis, yaitu hanya 100 meter dari rumah dinas wali kota dan tepat berada di jantung kota. Pada saat cuaca cerah, mata langsung bisa melihat indahnya Gunung Merbabu. Jadi, tempat yang tepat bagi orang-orang bule menginap.
Tidak ada catatan resmi sejak kapan Hotel Kalitaman dimulai pembangunannya. Yang pasti saat itu, arsitektur dunia tengah didominasi gaya De Indische Enpire Stijl. Penggunaan pilar besar kerap dimanfaatkan oleh arsitek dan di Indonesia, yang memopulerkannya adalah Gubernur Jendral Herman William Daendels pada tahun 1808-1811.
Setelah makan waktu bertahun-tahun, akhirnya pada tahun 1900-an Hotel Kalitaman sudah beroperasi. Setiap menjelang akhir pekan, banyak bule berdatangan ke Salatiga untuk sekadar memanfaatkan liburannya sembari menikmati hawa adem. Begitu megahnya hotel ini hingga orang pribumi sangat diharamkan memasuki areal hotel. Konon, terdapat papan pengumuman yang berbunyi Verboden voor honden en inlanders (anjing dan pribumi dilarang masuk). Duh! Bangsa kita disetarakan dengan binatang.
Jadi, ketika noni-noni Belanda bersama pasangannya tengah menikmati udara pagi di serambi hotel atau pada malam hari lagi menggelar dansa, kaum pribumi hanya bisa mengintip dari jarak sekitar 100 meteran. Keberadaan orang-orang berkulit cokelat cenderung menghitam akibat sengatan matahari, benar-benar sangat diharamkan mendekat-dekat.
Hingga akhirnya Belanda hengkang dari Republik ini, Hotel Kaloka diambil alih oleh pemerintah Provinsi Jawa Tengah. Fungsinya dijadikan tempat pendidikan dan latihan aparatur pemerintah dan diberi nama Sasana Widya Praja. Banyak cerita seram yang terjadi di tempat ini, minimnya lampu penerangan (waktu itu listrik masih bertegangan 110), sehingga kesan redup mendominasi kamar-kamar yang ada.
Entah bagaimana ceritanya, memasuki tahun 2000-an, lahan Hotel Kaloka berada di bawah kepemilikan Bank Pembangunan Daerah (BPD) Jawa Tengah atau sekarang dikenal sebagai Bank Jateng. Areal seluas 10.000 meter tersebut, tahun 2007 mau dibeli pemerintah kota (Pemkot) Salatiga, harganya Rp 11-12 miliar. Namun, karena Bank Jateng juga mau tetap berkantor di sini, akhirnya hanya dua pertiga lahan yang dilepas.
Jumat (20/1) siang, ketika saya bertandang ke hotel pertama di Salatiga ini, yang tersisa hanya bangunan utamanya. Kanan-kiri sudah diubah menjadi gedung yang repesentatif. Saat tengah mengambil gambar itulah, seorang petugas keamanan Bank Jateng sempat menghampiri. Dengan nada sopan, ia menanyakan kepentingan saya. Maklum, saya hanya mengenakan celana pendek dibalut jaket lusuh, jadi wajar kalau dicurigai. Setelah saya jelaskan, dirinya langsung mempersilakan.
Itulah sedikit penelusuran tentang hotel termewah sekaligus termegah yang ada di Kota Salatiga pada zaman pemerintahan kolonial Belanda. Setelah satu abad lewat, akhirnya hunian para bule tersebut lenyap tergerus jaman, tinggal tersisa satu bangunan induk yang kendati sudah mengalami renovasi, tak mengubah bentuk aslinya. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H