Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Kantor Pos Salatiga Saksi Bisu Asmara Bung Karno

18 Januari 2017   15:16 Diperbarui: 18 Januari 2017   18:19 839
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kantor Pos Salatiga tempo dulu (foto: dok PT PI)

Seperti galibnya gedung-gedung kantor Pos di Indonesia, bangunan kantor Pos di Kota Salatiga, usianya juga sangat uzur. Dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, yang usianya lebih dari 1,5 abad. Ternyata, tempat ini juga jadi saksi bisu asmara Presiden RI Ir. Soekarno dengan janda cantik Hartini.

Lho? Apa relevansinya asmara Soekarno yang biasa disapa Bung Karno dan Hartini dengan gedung kantor Pos Salatiga ini? Jawabnya sederhana, si bung besar, hampir setahun lamanya “mengguyur” rayuan mautnya melalui surat-surat yang didistribusikan melalui jasa kurir di bawah Jawatan Pos, Telegraph dan Telepon (PTT) yang sekarang bernama PT Pos Indonesia.

Hartini adalah seorang perempuan ayu kelahiran Ponorogo, Jawa Timur tanggal 20 September 1924. Ia adalah kembang di masa mudanya, cantik dan cerdas. Maklum, dirinya lulusan Nijheidscholl atau Sekolah Kepandaian Putri. Di mana, waktu itu hanya kalangan tertentu yang mampu bersekolah di tempat itu. Dalam usia muda, dia dinikahi oleh Suwondo hingga mendapatkan lima orang anak.

Kantor Pos Indonesia DC Salatiga sekarang (foto: dok pri)
Kantor Pos Indonesia DC Salatiga sekarang (foto: dok pri)
Sesusai penuturan Arifin Suryo Nugroho dalam buku Srihana-Srihani Biografi Hartini Soekarno, Hartini yang berstatus janda muda dan tinggal di dekat rumah dinas Walikota Salatiga, tahun 1952 bertemu dengan Bung Karno. Di mana, Sang Proklamator yang tengah melakukan kunjungan di kota kecil ini mendadak kesengsem kepada sosok Hartini pada pandangan pertama.

Hartini yang ikut sebagai panitia penyambutan kedatangan Presiden di rumah dinas Walikota, kebetulan memang piawai memasak sayur lodeh kesukaan Bung Karno. Celakanya, Bung Karno tahu persis bahwa sayur yang disantapnya merupakan hasil masakan perempuan ayu yang berpenampilan lembut. Hasilnya, usai menyantap, ia segera melancarkan jurus rayuannya. Berdalih akan mengucapkan terima kasih, dirinya meminta agar Hartini bersedia menemuinya.

Bak disambar geledek di siang bolong, dada Hartini langsung bergemuruh saat mendengar Bung Karno yang banyak digandrungi wanita ingin menemuinya. Ada beragam perasaan berkecamuk dalam benaknya, terlebih ketika Bung Karno menjabat erat tangannya. Bibirnya serasa kelu, sulit berkata-kata. “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?” Kata Bung Karno mencecarnya.

Bis Surat aset berharga milik PT Pos yang tetap terawat (foto: dok pri)
Bis Surat aset berharga milik PT Pos yang tetap terawat (foto: dok pri)
Mulai Memanfaatkan Jasa Pos

Hartini tergagap-gagap menjawab pertanyaan presidennya. Bagaimana tak tergagap? Ia hanya seorang janda lima orang anak, tiba-tiba bisa berjabat tangan dengan orang yang ditakuti di seluruh penjuru dunia. Sembari tersipu, mulutnya menjawab sekenanya. Sangat susah menerka apa yang ada di benaknya, yang jelas campur aduk antara senang, bahagia, bangga, dan tersipu malu.

Pasca pertemuan itu, berhari-hari Bung Karno merasakan kegalauan akut. Ia sulit menepis bayangan sosok perempuan cantik yang ditemuinya di Salatiga. Karena tak tahan memendam perasaannya, akhirnya Bung Karno mengambil secarik kertas dan menulis surat. Maklum, saat itu komunikasi belum secanggih sekarang. Pilihan satu-satunya agar bisa menebar rayuan jarak jauh, hanya satu, yakni melalui jasa pos. Sedikit tentang isi surat perdananya adalah sebagai berikut. “Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.”

Menggunakan jasa pos, dalam setiap suratnya Bung Karno menggunakan nama samaran “Srihana”, sedangkan Hartini diminta memakai nama “Srihani”. Berkat jasa kantor Pos Salatiga, hampir setahun penuh asmara dua insan tersebut bisa berjalan mulus. Hingga tahun 1953, melalui skenario yang disusun Bung Karno, Hartini berhasil ditemuinya. Lokasinya, di areal Candi Prambanan. Kebetulan Presiden tengah meresmikan teater terbuka Ramayana.

Ketika Hartini kembali lagi ke Salatiga, gairah asmara keduanya tetap dilanjutkan melalui surat yang didistribusikan oleh kantor Pos. Begitu menggebunya Bung Karno untuk menikahi perempuan ayu tersebut, akhirnya tanggal 7 Juli 1954, Bung Karno resmi menikahi Hartini kendati tanpa persetujuan Ibu Negara Fatmawati. Belakangan, cinta Hartini teruji saat Soekarno jatuh dari puncak kekuasaannya. Ia merupakan istri sang pahlawan nasional yang menungguinya sampai ajal menjemput.

Dari sedikit runtutan cerita tentang asmara Bung Karno ini, terlihat jelas bahwa peran kantor Pos Salatiga relatif sangat besar dalam mempererat hubungan cinta keduanya. Lantas, kapan gedung kantor PT Pos Indonesia yang termasuk cagar budaya tersebut mulai dibangun?“ Berdasarkan arsip yang ada, gedung ini dibangun sekitar tahun 1835-1845,” kata Samsu Panitis, Kepala PT Pos Indonesia DC Kota Salatiga, Rabu (18/1) siang saat dikonfirmasi.

Secara fisik, bangunan kantor PT Pos Indonesia DC Kota Salatiga tidak mengalami perubahan yang signifikan. Hanya warna cat, interior ruangan, genting dan lantai telah berubah. Zaman dulu lantai berupa tegel abu-abu, sekarang diganti keramik putih sehingga kesan bersih sangat terasa. Sedangkan daun pintu, jendela serta berbagai barang inventaris lainnya masih tetap sama.

Bahkan bis surat, atau kotak surat yang ada sejak zaman pemerintahan kolonial Belanda masih tetap dipertahankan. Kotak besi bertuliskan Brievenbus merupakan barang kuno yang langka. terkait hal tersebut, pihak PT Pos Indonesia DC Kota Salatiga selalu merawatnya. “Secara bergantian, karyawan saban hari selalu membersihkannya dari debu maupun kotoran lain,” ungkap Samsu.

Memelihara, menjaga, dan merawat gedung bersejarah memang bukan pekerjaan yang mudah. Namun, bila hal tersebut dilakukan dengan sepenuh hati, hasilnya bakal luar biasa. Kelak di kemudian hari, entah 10, 50 atau 100 tahun lagi, anak-cucu kita masih mampu menikmati sebuah bangunan yang kokoh karena sewaktu membangunnya tidak terjamah tangan-tangan kotor koruptor. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun