Seperti galibnya gedung-gedung kantor Pos di Indonesia, bangunan kantor Pos di Kota Salatiga, usianya juga sangat uzur. Dibangun pada zaman pemerintahan kolonial Belanda, yang usianya lebih dari 1,5 abad. Ternyata, tempat ini juga jadi saksi bisu asmara Presiden RI Ir. Soekarno dengan janda cantik Hartini.
Lho? Apa relevansinya asmara Soekarno yang biasa disapa Bung Karno dan Hartini dengan gedung kantor Pos Salatiga ini? Jawabnya sederhana, si bung besar, hampir setahun lamanya “mengguyur” rayuan mautnya melalui surat-surat yang didistribusikan melalui jasa kurir di bawah Jawatan Pos, Telegraph dan Telepon (PTT) yang sekarang bernama PT Pos Indonesia.
Hartini adalah seorang perempuan ayu kelahiran Ponorogo, Jawa Timur tanggal 20 September 1924. Ia adalah kembang di masa mudanya, cantik dan cerdas. Maklum, dirinya lulusan Nijheidscholl atau Sekolah Kepandaian Putri. Di mana, waktu itu hanya kalangan tertentu yang mampu bersekolah di tempat itu. Dalam usia muda, dia dinikahi oleh Suwondo hingga mendapatkan lima orang anak.
Hartini yang ikut sebagai panitia penyambutan kedatangan Presiden di rumah dinas Walikota, kebetulan memang piawai memasak sayur lodeh kesukaan Bung Karno. Celakanya, Bung Karno tahu persis bahwa sayur yang disantapnya merupakan hasil masakan perempuan ayu yang berpenampilan lembut. Hasilnya, usai menyantap, ia segera melancarkan jurus rayuannya. Berdalih akan mengucapkan terima kasih, dirinya meminta agar Hartini bersedia menemuinya.
Bak disambar geledek di siang bolong, dada Hartini langsung bergemuruh saat mendengar Bung Karno yang banyak digandrungi wanita ingin menemuinya. Ada beragam perasaan berkecamuk dalam benaknya, terlebih ketika Bung Karno menjabat erat tangannya. Bibirnya serasa kelu, sulit berkata-kata. “Rumahnya di mana? Anaknya berapa? Suami?” Kata Bung Karno mencecarnya.
Hartini tergagap-gagap menjawab pertanyaan presidennya. Bagaimana tak tergagap? Ia hanya seorang janda lima orang anak, tiba-tiba bisa berjabat tangan dengan orang yang ditakuti di seluruh penjuru dunia. Sembari tersipu, mulutnya menjawab sekenanya. Sangat susah menerka apa yang ada di benaknya, yang jelas campur aduk antara senang, bahagia, bangga, dan tersipu malu.
Pasca pertemuan itu, berhari-hari Bung Karno merasakan kegalauan akut. Ia sulit menepis bayangan sosok perempuan cantik yang ditemuinya di Salatiga. Karena tak tahan memendam perasaannya, akhirnya Bung Karno mengambil secarik kertas dan menulis surat. Maklum, saat itu komunikasi belum secanggih sekarang. Pilihan satu-satunya agar bisa menebar rayuan jarak jauh, hanya satu, yakni melalui jasa pos. Sedikit tentang isi surat perdananya adalah sebagai berikut. “Tuhan telah mempertemukan kita Tien, dan aku mencintaimu. Ini adalah takdir.”
Menggunakan jasa pos, dalam setiap suratnya Bung Karno menggunakan nama samaran “Srihana”, sedangkan Hartini diminta memakai nama “Srihani”. Berkat jasa kantor Pos Salatiga, hampir setahun penuh asmara dua insan tersebut bisa berjalan mulus. Hingga tahun 1953, melalui skenario yang disusun Bung Karno, Hartini berhasil ditemuinya. Lokasinya, di areal Candi Prambanan. Kebetulan Presiden tengah meresmikan teater terbuka Ramayana.
Ketika Hartini kembali lagi ke Salatiga, gairah asmara keduanya tetap dilanjutkan melalui surat yang didistribusikan oleh kantor Pos. Begitu menggebunya Bung Karno untuk menikahi perempuan ayu tersebut, akhirnya tanggal 7 Juli 1954, Bung Karno resmi menikahi Hartini kendati tanpa persetujuan Ibu Negara Fatmawati. Belakangan, cinta Hartini teruji saat Soekarno jatuh dari puncak kekuasaannya. Ia merupakan istri sang pahlawan nasional yang menungguinya sampai ajal menjemput.