Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Travel Story Artikel Utama

Serabi Ngampin, Benarkah Sudah Ada Sejak Jaman Perjuangan?

14 Januari 2017   15:12 Diperbarui: 14 Januari 2017   19:22 2082
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Semangkok serabi beserta kuahnya (foto: dok pri)

Kue serabi bukan makanan yang asing bagi telinga orang Indonesia. Namun, bila mendengar nama serabi ngampin, masih banyak yang belum mendengarnya. Padahal, ini merupakan kuliner tradisional di Ambarawa, Kabupaten Semarang. Berikut adalah catatan tentang makanan lagendaris tersebut.

Setiap melewati jalan raya Ambarawa - Magelang, tepatnya di Desa Ngampin, banyak orang tergoda mampir di deretan kios penjual serabi. Aromanya yang harum, ditambah kuah santan, tak pelak sangat pas disantap di sore hari. Apalagi di musim penghujan seperti sekarang. Dijamin pingin nambah, nambah, dan nambah lagi.

Serabi merupakan kuliner perpaduan tepung beras, santan, garam, daun pandan, dan gula. Berbeda dengan kue serabi kebanyakan, serabi ngampin berukuran kecil serta ditemani kuah santan untuk menyantapnya. Setelah berpuluh tahun, belakangan para penjual mulai berinovasi. Mereka menyajikan tiga varian, yakni putih, hijau, plus cokelat. Konon semuanya menggunakan bahan alami, contohnya warna hijau memakai daun suji sehingga relatif aman di pencernaan.

Serabi yang matang siap santap (foto: dok pri)
Serabi yang matang siap santap (foto: dok pri)
Di kawasan pinggiran Ambarawa, terdapat puluhan kios yang menjajakan serabi. Baik di kanan jalan maupun kiri jalan, yang membuat penasaran, konon serabi ngampin sudah ada sejak jaman perjuangan. Lho? Apa relevansinya dengan masa perjuangan? Itulah yang perlu diluruskan.

Kebetulan, salah satu pedagang yang usianya sudah sepuh, yakni Bu Parmi (65) mampu memberikan keterangan lumayan runtut. Menurutnya, kabar yang menyebut serabi ngampin sudah ada sejak jaman perjuangan keliru adanya. Yang benar, kuliner ini mulai muncul di tahun 1970-an. “ Tahun 70-an, setiap Saban atau menjelang bulan Ramadhan warga mremo berjualan serabi,” jelasnya.

Karena acara Saban menjadi tradisi mencari jodoh bagi anak muda yang masih lajang, maka saban tahun selalu ramai. Kehadiran banyak jomblo tersebut, belakangan membawa berkah bagi pedagang serabi. Karena prospeknya bagus, akhirnya banyak pedagang yang berspekulasi membuka lapaknya di hari-hari biasa hingga sekarang ini.

Bu Parmi meladeni pelanggannya (foto: dok pri)
Bu Parmi meladeni pelanggannya (foto: dok pri)
Mempertahankan Cara Tradisional

Setelah 47 tahun berlalu, lanjut Bu Parmi, usaha berdagang serabi sudah diambil alih oleh generasi kedua. Hanya satu dua pedagang lama yang tetap bertahan sekedar mengisi kesibukan. “Biasanya buka di atas pukul 15.00 sampai pukul 20.00, tapi ada juga yang pukul 09.00 sudah mulai buka,” ujarnya.

Seperti pedagang lainnya, Bu Parmi juga menyediakan tiga varian serabi. Biasanya, selain dinikmati di tempat sembari duduk lesehan, konsumen kerap membawanya pulang sebagai oleh-oleh. Rata-rata harga yang dipatok relatif murah, yakni satu porsi berisi 4 buah Rp 3.000 - Rp 4.000 lengkap dengan kuah santannya.

Ada sisi menarik pada serabi ngampin, di mana untuk memasaknya, mayoritas pedagang masih bertahan dengan cara tradisional. Dengan menggunakan angklo (tungku yang terbuat dari tanah liat), bahan bakar yang digunakan adalah kayu bakar, bukan kompor gas. Sementara, wajan kecil yang dipakai mencetak, juga wajan tanah liat sehingga perpaduan aroma serabi tercium harum.

Begini peralatan masaknya (foto: dok pri)
Begini peralatan masaknya (foto: dok pri)
Sudah berpuluh tahun cara tradisional ini dipertahankan. Pernah ada pedagang yang menggantinya menggunakan peralatan masak lebih modern, tapi akhirnya kembali juga ke cara lama. “Kalau masak dengan kompor gas, aromanya kurang menyengat sehingga pelanggan kerap protes (komplain),” kata Bu Parmi.

Memang, bila melongok tungku maupun wajan untuk memasaknya, terlihat hitam legam akibat panas pembakaran kayu. Namun, bila sudah mencicipi kue serabinya, orang bakal ketagihan. Kegigihan para pedagang dalam mempertahankan cara tradisional serta bertahan dengan dagangan kue serabi juga layak diapresiasi. Sebab, kuliner ini merupakan upaya rakyat kecil sekedar survive dalam hidup tanpa mengandalkan bantuan pemerintah.

Fakta membuktikan, dimulai sejak awal Orde Baru, hingga Presiden silih berganti, mereka tetap tak tergoyahkan. Saat Republik ini didera krisis ekonomi, banyak pengusaha besar tumbang, mereka melenggang meraup uang recehan. Esensinya, kendati hanya berdagang serabi, usaha tersebut kebal segala bentuk resesi. Itulah kue serabi! (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Travel Story Selengkapnya
Lihat Travel Story Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun