Nama lengkapnya Kanjeng Raden Ayu Gaganawati Dyah Panca Harsanti Stegmann , namun, biasa disapa Gana. Ia seorang Kompasianer yang tinggal di Jerman, di mana, Minggu (23/10) sukses menghipnotis ratusan pasang mata ketika menggelar acara bedah buku di Gramedia, Kota Semarang.
Mengenakan kebaya warna merah muda, ibu tiga orang anak yang bertubuh mungil itu, menggelar talk show buku berjudul Exploring Germany dan buku berlabel Wanita Indonesia Bisa terbitan Peniti Media. Cuaca Kota Semarang yang tak ramah karena tengah diguyur hujan, berubah jadi hangat saat Gana memulai acaranya dengan tarian tradisional dan bedah buku. Praktis, sekitar 150 pasang mata setia mendengarkan penuturannya.
Menurut Gana, ritme kehidupan warga Jerman layak diapresiasi. Sebab, semuanya berlangsung serba disiplin, bersih, bahkan gedung- gedung tua pun sangat terawat. Di sisi lain, pemerintahan juga memberikan atensi penuh terhadap anak- anak dengan memberikan jaminan sosial yang memadai. “ Semakin banyak anak, maka semakin besar tunjangannya. Karena anak ke dua dan seterusnya lebih besar tunjangannya dibanding anak pertama,” ungkapnya.
Ada sisi menarik atas kehadiran Gana di kampung halamannya ini, dibalik tubuhnya yang kecil, tersembunyi keperkasaan berpadu kecerdasan yang di atas rata- rata wanita Indonesia. Ia begitu getol mengenalkan negara Jerman, padahal dirinya harus menempuh perjalanan ribuan mil sekaligus meninggalkan tiga anak serta suaminya. Usai menggelar acara serupa di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Jumat (21/10), seakan tak mengenal kosa kata lelah, segera meluncur ke Semarang.
Usai acara talk show, Gana masih sempat berbincang dengan tiga orang yuniornya yang merupakan aktifis LSM Kota Semarang. Di sinilah saya menangkap sisi kehebatan perempuan ini. Bola matanya selalu berbinar memancarkan rasa optimisme yang tinggi, gesturnya memperlihatkan dirinya bukanlah sosok yang ringkih menghadapi kegidupan. Kendati begitu, sisi keibuannya teramat kental. Terbukti, beberapa kali ia selalu menyempatkan diri menyapa buah hatinya di seberang sana.
Dalam perbincangan sekitar dua jam, terungkap bahwa dirinya sebelum hidup di Jerman adalah aktifis LSM internasional di Semarang. Aktifitas tersebut menjadi investasi dirinya saat memutuskan menikah dengan pria bule. “ Di Jerman, segala sesuatu harus saya kerjakan sendiri. Mulai bersih-bersih rumah, memasak dan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya. Untungnya, jauh hari tubuh saya sudah ditempa,” jelasnya tetap dengan mata berbinar.
Di luar rutinitasnya mengerjakan berbagai pekerjaan rumah yang sangat menyita waktu, Gana masih sempat mengajar di beberapa bimbingan belajar. Yang membuat geleng kepala, ketika ada kesempatan tersisa, dirinya masih konsisten menulis di Kompasiana. Bukan artikel yang berat memang, namun, sangat layak diapresiasi karena dikerjakan di tengah padatnya ritme hidupnya. “ Pokoknya ada waktu sedikit, ya nulis apa yang perlu ditulis,” tuturnya jauh dari kesan jumawa.
Sepertinya, kendati hidup di Jerman puluhan tahun, namun, hati yang ada pada diri Gana tetap merah putih. Bukan sekedar ia akan membantu masyarakat di pelosok Republik ini, namun, dalam pengakuannya dia masih setia memegang status WNI. Baginya, bersuamikan bule bukan berarti harus menanggalkan kewarganegaraan. Kenyamanan serta kebahagiaan di negeri seberang, tidak melunturkan nasionalisme di tubuhnya. Keren !
Kesan bersahaja, meski tinggal di negara maju sangat lekat pada diri Gana. Bahkan, ketika diajak berbincang selama dua jam, tak ada bahasa Inggris yang terselip selayaknya orang yang biasa hidup di negeri orang. Komunikasinya lebih banyak didominasi bahasa Jawa medok yang sesekali diselipi joke- joke ringan. Sembari mengunyah bakso, matanya selalu menatap tajam lawan bicaranya. Sungguh, perempuan cerdas yang sangat menghargai orang lain.
Itulah sedikit mengenai sosok Kompasianer Gaganawati Stegmann, perempuan tangguh yang harusnya mampu menginspirasi wanita Indonesia lainnya. Ia mau bersusah payah menempuh perjalanan 24 jam ( 16 jam di antaranya di udara) hanya untuk berbagi. Dirinya memaksa diri meninggalkan si bungsu yang baru berusia 8 tahun demi Indonesia, dia juga mengarungi lautan ribuan kilometer buat membagikan apa yang diketahuinya. Gana memang perempuan cantik, cerdas dan perkasa. (*)