Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Perempuan Perkasa itu Bernama Gana Stegmann

24 Oktober 2016   16:22 Diperbarui: 24 Oktober 2016   18:42 1557
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Nama lengkapnya Kanjeng Raden Ayu Gaganawati Dyah Panca Harsanti Stegmann , namun, biasa disapa Gana. Ia seorang Kompasianer yang tinggal di Jerman, di mana, Minggu (23/10) sukses menghipnotis ratusan pasang mata ketika menggelar acara bedah buku di Gramedia, Kota Semarang.

Mengenakan kebaya warna merah muda, ibu tiga orang anak yang bertubuh mungil itu, menggelar talk show buku berjudul Exploring Germany dan buku berlabel Wanita Indonesia Bisa terbitan Peniti Media. Cuaca Kota Semarang yang tak ramah karena tengah diguyur hujan, berubah jadi hangat saat Gana memulai acaranya dengan tarian tradisional dan bedah buku. Praktis, sekitar 150 pasang mata setia mendengarkan penuturannya.

Menurut Gana, ritme kehidupan warga Jerman layak diapresiasi. Sebab, semuanya berlangsung serba disiplin, bersih, bahkan gedung- gedung tua pun sangat terawat. Di sisi lain, pemerintahan juga memberikan atensi penuh terhadap anak- anak dengan memberikan jaminan sosial yang memadai. “ Semakin banyak anak, maka semakin besar tunjangannya. Karena anak ke dua dan seterusnya  lebih besar tunjangannya dibanding anak pertama,” ungkapnya.

Dengan Kompasianer Wang Eddy, Yuni, Wahyu dan Dinda (foto: dok pri)
Dengan Kompasianer Wang Eddy, Yuni, Wahyu dan Dinda (foto: dok pri)
Kendati ada jaminan sosial, lanjutnya, namun mayoritas orang Jerman tidak begitu suka memiliki anak. Pasalnya, mereka mereka enggan repot karena segala sesuatunya termasuk momong dikerjakan sendiri tanpa bantuan kerabat. “ Hal ini sangat berbeda dibanding Indonesia, ketika seorang ibu kerepotan mengurus anaknya, bisa dititipkan pada neneknya, tantenya mau pun keluarga yang lain,” imbuhnya.

Ada sisi menarik atas kehadiran Gana di kampung halamannya ini, dibalik tubuhnya yang kecil, tersembunyi keperkasaan berpadu kecerdasan yang di atas rata- rata wanita Indonesia. Ia begitu getol mengenalkan negara Jerman, padahal dirinya harus menempuh perjalanan ribuan mil sekaligus meninggalkan tiga anak serta suaminya. Usai menggelar acara serupa di Gedung Kompas Gramedia, Jakarta, Jumat (21/10), seakan tak mengenal kosa kata lelah, segera meluncur ke Semarang.

Usai acara talk show, Gana masih sempat berbincang dengan tiga orang yuniornya yang merupakan aktifis LSM Kota Semarang. Di sinilah saya menangkap sisi kehebatan perempuan ini. Bola matanya selalu berbinar memancarkan rasa optimisme yang tinggi, gesturnya memperlihatkan dirinya bukanlah sosok yang ringkih menghadapi kegidupan. Kendati begitu, sisi keibuannya teramat kental. Terbukti, beberapa kali ia selalu menyempatkan diri menyapa buah hatinya di seberang sana.

Dua buku yang dibedahnya (foto: dok pri)
Dua buku yang dibedahnya (foto: dok pri)
Merah Putih Tetap Segalanya

Dalam perbincangan sekitar dua jam, terungkap bahwa dirinya sebelum hidup di Jerman adalah aktifis LSM internasional di Semarang. Aktifitas tersebut menjadi investasi dirinya saat memutuskan menikah dengan pria bule. “ Di Jerman, segala sesuatu harus saya kerjakan sendiri. Mulai bersih-bersih rumah, memasak dan pekerjaan ibu rumah tangga lainnya. Untungnya, jauh hari tubuh saya sudah ditempa,” jelasnya tetap dengan mata berbinar.

Di luar rutinitasnya mengerjakan berbagai pekerjaan rumah yang sangat menyita waktu, Gana masih sempat mengajar di beberapa bimbingan belajar. Yang membuat geleng kepala, ketika ada kesempatan tersisa, dirinya masih konsisten menulis di Kompasiana. Bukan artikel yang berat memang, namun, sangat layak diapresiasi karena dikerjakan di tengah padatnya ritme hidupnya. “ Pokoknya ada waktu sedikit, ya nulis apa yang perlu ditulis,” tuturnya jauh dari kesan jumawa.

Diskusi di warung bakso selama dua jam (foto: dok pri)
Diskusi di warung bakso selama dua jam (foto: dok pri)
Terungkap bahwa Gana akan menyumbang sumur bor di tanah Papua, ia tak peduli di kabupaten mana, yang penting sumur tersebut akan bermanfaat bagi warga. Perihal bantuan sumur tersebut, beberapa hari sebelumnya ia sempat melontarkannya. Dirinya mengaku, bersama rekan- rekannya ingin memberikan sesuatu yang berarti bagi Indonesia. “ Ini hanya langkah kecil, tapi saya berharap nantinya mampu memancing minat yang sama dari orang lain,” kata Gana.

Sepertinya, kendati hidup di Jerman puluhan tahun, namun, hati yang ada pada diri Gana tetap merah putih. Bukan sekedar ia akan membantu masyarakat di pelosok Republik ini, namun, dalam pengakuannya dia masih setia memegang status WNI. Baginya, bersuamikan bule bukan berarti harus menanggalkan kewarganegaraan. Kenyamanan serta kebahagiaan di negeri seberang, tidak melunturkan nasionalisme di tubuhnya. Keren !

Mengunjungi anak- anak SLB sekaligus memberikan bantuan (foto: dok pri)
Mengunjungi anak- anak SLB sekaligus memberikan bantuan (foto: dok pri)
Hingga Senin (24/10), aktifitas Gana tetap saja padat. Usai mengunjungi salah satu Sekolah Luar Biasa di Semarang dan memberikan bantuan, ia segera bergegas ke Jogjakarta untuk menemui Kartika Affandi. Rencananya akan menginap semalam guna menyaksikan sendratari Ramayana di Candi Prambanan. Sepertinya, istilah lelah memang tak dikenalnya sehingga terus menerus bergerak tanpa mengenal waktu.

Kesan bersahaja, meski tinggal di negara maju sangat lekat pada diri Gana. Bahkan, ketika diajak berbincang selama dua jam, tak ada bahasa Inggris yang terselip selayaknya orang yang biasa hidup di negeri orang. Komunikasinya lebih banyak didominasi bahasa Jawa medok yang sesekali diselipi joke- joke ringan. Sembari mengunyah bakso, matanya selalu menatap tajam lawan bicaranya. Sungguh, perempuan cerdas yang sangat menghargai orang lain.

Itulah sedikit mengenai sosok Kompasianer Gaganawati  Stegmann, perempuan tangguh yang harusnya mampu menginspirasi wanita Indonesia lainnya. Ia mau bersusah payah menempuh perjalanan 24 jam ( 16 jam di antaranya di udara) hanya untuk berbagi. Dirinya memaksa diri meninggalkan si bungsu yang baru berusia 8 tahun demi Indonesia, dia juga mengarungi lautan ribuan kilometer buat membagikan apa yang diketahuinya. Gana memang perempuan cantik, cerdas dan perkasa. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun