Tentara Jepang harus diakui memang piawai dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya, terbukti, di Desa Bapangsari, Bagelen, Kabupaten Purworejo, mereka membangun sedikitnya 36 benteng pertahanan yang mirip bunker di perbukitan Kalimaro.
Berada di atas ketinggian sekitar 200 mdpl, maka puluhan bunkertersebut diduga akan dijadikan benteng pertahanan terakhir tentara Jepang yang bertugas di Purworejo. Di mana, lokasinya yang strategis, mampu mengamati pergerakan pasukan musuh baik dari darat mau pun laut. Pasalnya, selain di bawah bukit merupakan jalan raya Kulon Progo-Purworejo, sebagian bunker juga menghadap arah pantai Congot.
Sayangnya, untuk menuju bunker-bunker bukan hal yang mudah. Bila akan menelusurinya, orang harus rajin bertanya pada penduduk di wilayah kecamatan Bagelen. Sebab, kendati akses masuknya berada jalan raya Kulon Progo-Purworejo, namun, tak ada petunjuk apa pun. Kalau pun dianggap sebagai tanda kawasan benteng pendem, hal itu hanya sebatas tulisan MMT berukuran 50x50 cm tetapi sudah sobek hingga tersisa seperempatnya saja.
Dari jalan raya menuju parkiran bukit Kalimaro berjarak sekitar2 kilometer, meski relatif pendek, namun sepanjang perjalanan dijamin diliputiperasaan was- was.Berulangkali sepeda motor dari arah berlawanan tiba- tibanongol tanpa membunyikan klakson sehingga cukup membuat kaget pengemudi roda empat. Hingga tiba di lahan kosong, penelusuran langsung disuguhi tanda peringatan yang dipasang oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata KabupatenPurworejo.
Kondisi bunker yang oleh masyarakat disebut benteng ini, mayoritas nyaris sama. Berukuran sekitar 6x8 meter, tinggi 2,5 meter dengan bangunan cor semen secara keseluruhan memiliki ketebalan hampir 50 cm. Sehingga, kendati diberondong senapan mesin pun tak bakal tembus. masing- masing unit, bisa diisi 10 orang pasukan. Sedangkan untuk sirkulasi udara terdapat lubang besar yang juga berfungsi sebagai pintu masuk.
Untuk mengantisipasi kehadiran musuh, di setiap bunker terdapat lubang pengintaian berukuran 50x50 cm. Sementara di sisi kanan kiri terdapat lobang lebih kecil yang diduga berfungsi sebagai tempat stand by senjata. Mayoritas bunker sebelumnya ditimbun tanah sehingga dari jarak 10 meter tidak akan terlihat siapa pun. Pasalnya, di seluruh areal merupakan semak belukar dan pohon jati.Sedangkan jarak satu bunker ke bunker lainnya berkisar 50 meter hingga 100 meter, sayang medannya masuk kategori berat.
Teman ayah Junaidi bernama Amat Darso warga dusun Kalimaro yangdi tahun 1942 masih berusia 12 tahun. Oleh tentara Jepang, Amat dipaksa bekerja membangun bunker selama setahun lebih. Bersama warga lainnya, remaja tersebut dibayar sebesar 12 sen sehari atau setara (sekarang) Rp 12 ribu. Sedangkan orang dewasa dibayar dua kali lipat, tentunya karena porsi pekerjaannya lebih berat.
Berdasarkan keterangan Amat yang sekarang sudah berusia 86 tahun, lanjut Junaidi, berbeda dengan cerita-cerita pilu romusha, para pekerja pembangunan bunker diperlakukan secara baik oleh serdadu Jepang. Bahkan, ketika Amat bertanya untuk apa membangun “rumah” yang maha kuat tersebut? Seorang tentara Jepang menjawab, selain guna pertahanan terakhir juga digunakan sebagai pemusatan arteleri tempur. Terkait hal itu, seluruh wilayah bukit Talimaro sengaja dikosongkan dari keberadaan penduduk.
Itulah hasil penelusuran ke Benteng Pendem di wilayah kabupaten Purworejo, untuk meneruskan perjalanan menuju bunker-bunker yang lain, rasanya sangat tidak memungkinkan. Karena cuaca yang mulai mendung, track ke bunker satu ke bunker lainnya sangat berat. Sehingga, usai tiba di bunker ke empat, akhirnya keputusan harus diambil. Yakni, pulang. Kesimpulan akhir, meski termasuk cagar budaya, namun kawasan ini teramat sangat tak terawat. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H