Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Jejak Pertahanan Jepang di Benteng Purworejo

17 Oktober 2016   12:33 Diperbarui: 17 Oktober 2016   20:24 789
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Belokan tajam , meleng sedikit tebing menanti (foto: dok pri)

Tentara Jepang harus diakui memang piawai dalam mempertahankan wilayah kekuasaannya, terbukti, di Desa Bapangsari, Bagelen, Kabupaten Purworejo, mereka membangun sedikitnya 36 benteng pertahanan yang mirip bunker di perbukitan Kalimaro.

Berada di atas ketinggian sekitar 200 mdpl, maka puluhan bunkertersebut diduga akan dijadikan benteng pertahanan terakhir tentara Jepang yang bertugas di Purworejo. Di mana, lokasinya yang strategis, mampu mengamati pergerakan pasukan musuh baik dari darat mau pun laut. Pasalnya, selain di bawah bukit merupakan jalan raya Kulon Progo-Purworejo, sebagian bunker juga menghadap arah pantai Congot.

Sayangnya, untuk menuju bunker-bunker bukan hal yang mudah. Bila akan menelusurinya, orang harus rajin bertanya pada penduduk di wilayah kecamatan Bagelen. Sebab, kendati akses masuknya berada jalan raya Kulon Progo-Purworejo, namun, tak ada petunjuk apa pun. Kalau pun dianggap sebagai tanda kawasan benteng pendem, hal itu hanya sebatas tulisan MMT berukuran 50x50 cm tetapi sudah sobek hingga tersisa seperempatnya saja.

Begini petunjuk yang terpasang di pinggir jalan raya (foto: dok pri)
Begini petunjuk yang terpasang di pinggir jalan raya (foto: dok pri)
Setelah berulangkali bertanya, akhirnya bertemu juga arah yang tepat menuju bukit Kalimaro. Akses jalan yang dulunya berupa tanah liat, kondisinya telah dicor semen kanan kiri sehingga kendaraan roda empat bisa melewatinya. Lebarnya hanya berkisar 3 meter, susah membayangkan bila mobil berpapasan. Selain banyak tikungan tajam, bagian sebelah kiri saat melakukan pendakian juga berupa tebing. Jadi, ketika mengemudi adrenalin dipastikan meningkat drastis

Dari jalan raya menuju parkiran bukit Kalimaro berjarak sekitar2 kilometer, meski relatif pendek, namun sepanjang perjalanan dijamin diliputiperasaan was- was.Berulangkali sepeda motor dari arah berlawanan tiba- tibanongol tanpa membunyikan klakson sehingga cukup membuat kaget pengemudi roda empat. Hingga tiba di lahan kosong, penelusuran langsung disuguhi tanda peringatan yang dipasang oleh Dinas Kebudayaan dan Pariwisata KabupatenPurworejo.

Belokan tajam , meleng sedikit tebing menanti (foto: dok pri)
Belokan tajam , meleng sedikit tebing menanti (foto: dok pri)
Peringatan tersebut berbunyi: Dilarang merusak, mengotori dan merubah bentuk keadaan benda bangunan, struktur, lingkungan situs, kawasan benteng pendem. Barang siapa melanggar larangan ini akan dikenai sanksi berdasarkan Undang-Undang II Tahun 2010 tentang Cagar Budaya. Dengan kata lain, perbukitan Kalimaro sebenarnya termasuk kawasan cagar budaya yang hukumnya wajib dilindungi.
Termasuk cagar budaya tapi tak terawat (foto: dok pri)
Termasuk cagar budaya tapi tak terawat (foto: dok pri)
Kendati merupakan kawasan cagar budaya, namun tidak ada seorang pun yang berjaga. Dari lokasi parkir menuju bunker pertama, praktis penuh semak belukar. Begitu pun ketika akan ke bunker dua, tiga hingga yang lain. Track yang menanjak berupa jalan setapak, dengan sudut kemiringan mencapai 70 derajat, membuat siapa pun harus ekstra waspada. Meleng sedikit, fatal akibatnya. Bisa sukses berguling hingga sampai bawah bukit setinggi 200 meter ini.
Bunker ke dua yang tertutup pepohonan (foto: dok pri)
Bunker ke dua yang tertutup pepohonan (foto: dok pri)
Dibangun Tahun 1942

Kondisi bunker yang oleh masyarakat disebut benteng ini, mayoritas nyaris sama. Berukuran sekitar 6x8 meter, tinggi 2,5 meter dengan bangunan cor semen secara keseluruhan memiliki ketebalan hampir 50 cm. Sehingga, kendati diberondong senapan mesin pun tak bakal tembus. masing- masing unit, bisa diisi 10 orang pasukan. Sedangkan untuk sirkulasi udara terdapat lubang besar yang juga berfungsi sebagai pintu masuk.

Untuk mengantisipasi kehadiran musuh, di setiap bunker terdapat lubang pengintaian berukuran 50x50 cm. Sementara di sisi kanan kiri terdapat lobang lebih kecil yang diduga berfungsi sebagai tempat stand by senjata. Mayoritas bunker sebelumnya ditimbun tanah sehingga dari jarak 10 meter tidak akan terlihat siapa pun. Pasalnya, di seluruh areal merupakan semak belukar dan pohon jati.Sedangkan jarak satu bunker ke bunker lainnya berkisar 50 meter hingga 100 meter, sayang medannya masuk kategori berat.

Ini yang benar- benar bunker di bawah tanah (foto: dok pri)
Ini yang benar- benar bunker di bawah tanah (foto: dok pri)
Agak susah menelusuri asal usul puluhan bunker ini, apa lagi lokasinya relatif jauh dari pemukiman penduduk. Dinas terkait juga tidak memasang keterangan apa pun. Untungnya, setelah hampir satu jam menunggu tak ada manusia yang lewat. Mendadak muncul pencari rumput asal desa Tlogokotes yang merupakan tetangga desa Bapangsari. Pria bernama Junaidi (50) tersebut, bisa sedikit bercerita karena teman ayahnya terlibat langsung dalam pembuatan benteng pertahanan itu.

Teman ayah Junaidi bernama Amat Darso warga dusun Kalimaro yangdi tahun 1942 masih berusia 12 tahun. Oleh tentara Jepang, Amat dipaksa bekerja membangun bunker selama setahun lebih. Bersama warga lainnya, remaja tersebut dibayar sebesar 12 sen sehari atau setara (sekarang) Rp 12 ribu. Sedangkan orang dewasa dibayar dua kali lipat, tentunya karena porsi pekerjaannya lebih berat.

Nampang bentar sebelum cabut (foto: dok pri)
Nampang bentar sebelum cabut (foto: dok pri)
Menurut Junaidi, anak-anak yang bekerja tak hanya Amat saja. Sebab, banyak remaja lainnya asal desa Bapangsari dipaksa untuk ikut bekerja.Mereka harus menguras tenaga di medan yang sulit selama sehari penuh. Untungnya, waktu itu belum ada Undang-undang Perlindungan Anak. Coba kalau sudah terbit, bisa dibui para serdadu yang memaksa yang memperkerjakan anak.

Berdasarkan keterangan Amat yang sekarang sudah berusia 86 tahun, lanjut Junaidi, berbeda dengan cerita-cerita pilu romusha, para pekerja pembangunan bunker diperlakukan secara baik oleh serdadu Jepang. Bahkan, ketika Amat bertanya untuk apa membangun “rumah” yang maha kuat tersebut? Seorang tentara Jepang menjawab, selain guna pertahanan terakhir juga digunakan sebagai pemusatan arteleri tempur. Terkait hal itu, seluruh wilayah bukit Talimaro sengaja dikosongkan dari keberadaan penduduk.

Itulah hasil penelusuran ke Benteng Pendem di wilayah kabupaten Purworejo, untuk meneruskan perjalanan menuju bunker-bunker yang lain, rasanya sangat tidak memungkinkan. Karena cuaca yang mulai mendung, track ke bunker satu ke bunker lainnya sangat berat. Sehingga, usai tiba di bunker ke empat, akhirnya keputusan harus diambil. Yakni, pulang. Kesimpulan akhir, meski termasuk cagar budaya, namun kawasan ini teramat sangat tak terawat. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun