Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Janda Pejuang Ini, Bertahun-tahun Hidup di Kandang

6 Oktober 2016   16:55 Diperbarui: 7 Maret 2017   00:00 2062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mbah Kesi di depan rumahnya (foto: dok pri)

Kendati almarhum Setyo Ramelan dulunya ikut berjuang agar Republik ini merdeka, namun, istrinya, Sukesi (75) warga Bendosari RT 01 RW 05, Kumpulrejo, Argomulyo, Kota Salatiga ternyata hidupnya sangat sengsara. Janda renta tersebut selama bertahun-tahun hidup di rumah reyot merangkap kandang.

Kabar tentang Sukesi yang biasa disapa mbah Kesi ini, sebenarnya saya dapatkan Rabu (5/10) malam. Baru Kamis (6/10) sore saya sempat melacaknya. Tak begitu sulit menemukan rumahnya, sebab, dari jalan raya Salatiga-Kopeng hanya berjarak 20 meter. Memasuki halaman rumahnya, terlihat bagian kuda-kudanya sudah melengkung tinggal menunggu ambruk.

Di bagian genting terlihat lobang lumayan besar yang membebaskan air hujan langsung menerobos ke dalamnya. Sementara di belakang, mungkin dulunya untuk dapur, atapnya telah ambrol. Dinding-dinding yang terbuat dari papan sudah lapuk dimakan usia sehingga anjing mau pun ayam piaraannya bebas keluar masuk. Tak berapa lama, keluarlah seorang perempuan renta yang memperkenalkan dirinya sebagai mbah Kesi.

Mbah Kesi di depan rumahnya (foto: dok pri)
Mbah Kesi di depan rumahnya (foto: dok pri)
“Suami saya dulu pejuang dan menerima tunjangan sebagai veteran. Tetapi tahun 2008 meninggal akibat bunuh diri karena tak tahan mengalami tekanan hidup,” ungkapnya membuka perbincangan.

Usai ditinggal suaminya, kehidupan mbah Kesi semakin terpuruk. Sebab, semasa hidupnya Setyo Ramelan menggadaikan SK pensiunnya dan tidak ikut asuransi. Uang pensiun yang di tahun 2008 sebesar Rp 400 ribu, tiap bulan dipotong angsuran Rp 330 ribu. Otomatis, nenek ini hanya hidup dengan anggaran Rp 70 ribu perbulan.

“Karena sisa pensiun tak mencukupi, ya pilihannya tidak ada lagi selain utang ke bank thitil (kredit harian) tanpa agunan,” kata mbah Kesi sembari menambahkan untuk pinjaman Rp 100 ribu, ia harus mengangsur sebesar Rp 13.000 kali 10 angsuran.

Tulisan yang merupakan tanda kandang ini rumahnya (foto: dok pri)
Tulisan yang merupakan tanda kandang ini rumahnya (foto: dok pri)
Lebih Mirip Kandang

Menurut mba Kesi, dulunya almarhum suaminya pernah memungut seorang anak yang diberi nama Uprih Setyaningsih. Namun, memasuki usia dewasa, sang anak kembali ke orang tuanya sehingga mengakibatkan dirinya hidup sebatang kara. “Sekarang Uprih sudah berkeluarga, tapi tidak tahu hidup di mana,” tuturnya.

Karena berbincang di halaman rumah kurang nyaman, pura-puranya saya disuruh masuk. Begitu kaki memasuki rumah reyot ini, aroma khas langsung menyergap lubang hidung. Antara bau kotoran ayam, pesing, apek dan lembab menyatu sehingga semakin lengkap melesak ke dada. Ruangan berukuran sekitar 4x6 meter penuh barang-barang tidak terpakai. Sementara di lantai tanah, terlihat kotoran ayam ada di mana-mana.

“Memang rumah ini sudah berubah fungsi pak. Sekarang fungsinya sebagai kandang anjing dan ayam,” jelasnya sembari menunjuk kamar kumuh tempat ia beristirahat.

Sensasi aroma di dalam rumahnya wow (foto: dok pri)
Sensasi aroma di dalam rumahnya wow (foto: dok pri)
Saat kamar pribadinya dilongok, ya Allah... terlihat kasur yang warnanya hitam kecokelatan akibat saking kotornya. Sementara di atas kasur, anjing piaraannya tengah bersantai. Menurutnya, saban malam ia tidur bersama binatang piaraannya dan telah dijalaninya bertahun- tahun. Sungguh, sangat memelas. Bagaimana mungkin di Kota Salatiga masih ada orang yang tidur di kandang? Kalau tak menyaksikan sendiri, sulit dipercaya.

Di usia uzurnya, mbah Kesi mengakui sebenarnya sekarang pensiun yang diterimanya Rp 1,2 juta. Namun, karena sudah terlanjur terjerat hutang, saban bulan ia hanya menerima Rp 50 ribu. Untuk makan sehari- hari, dirinya berakrobat dengan berhutang ke bank thitil.

Kalau tidak biasa mengangsur, biasanya saya menjual salah satu ayam piaraan,” jelasnya.

Begini kondisi bagian dapurnya (foto: dok pri)
Begini kondisi bagian dapurnya (foto: dok pri)
Terbayang, bagaimana kalau hujan lebat mengguyur bumi. Apa yang bisa dilakukan mbah Kesi? Begitu pun semisal dirinya didera sakit, siapa yang akan membawanya berobat? Mengingat kondisi rumahnya yang jauh dari sehat, pastinya tubuh rentanya rentan diterjang penyakit. “Kalau masuk angin ya dikeroki sendiri nanti kan sembuh sendiri,” tukasnya enteng saat saya singgung hal tersebut.

Beberapa hari lalu, kata nenek ini, perwakilan salah satu  komunitas di Salatiga telah mengunjunginya. Selain melakukan pengecekan lapangan, komunitas tersebut berencana akan menggelar bedah rumah. Hanya kapan bakal direalisasi, mbah Kesi belum bisa memastikannya.

Mbah Kesi ditemani (dokpri)
Mbah Kesi ditemani (dokpri)
Hampir 30 menit kami berbincang, ketika ada kesempatan berkeliling memutari kandang merangkap rumah itu, sama sekali tidak terlihat adanya MCK. Karena nyaris seluruh gentingnya sudah banyak yang pecah, maka air hujan bebas membasahi lantai tanah. Akibatnya, penjuru ruangan becek. Bila nenek renta itu tak hati-hati melangkah, alamat terjerembab. Pasalnya, tak terlihat adanya aliran listrik.

Saat saya berpamitan, mbah Kesi sempat mengantar sampai jalan aspal di depan rumahnya. Ia terlihat sangat gembira ada yang mengunjunginya. Duh! Negara ini sudah 71 tahun merdeka, namun masih ada janda pejuang yang bertahun-tahun tinggal di kandang berbaur bersama anjing dan ayam piaraan. Banyak orang kaya, tapi banyak pula yang tidak peduli. Begitu juga dengan media, sepertinya ikut abai memberitakannya. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun