Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Politik Pilihan

SBY, Kyai dan Jarkoni

23 September 2016   14:18 Diperbarui: 24 September 2016   09:39 3484
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Keputusan koalisi empat partai untuk mencalonkan Mayor Inf Agus Harimurti Yodhoyono  (AHY) sebagai bakal calon gubernur DKI Jakarta tahun 2017 mendatang, sepertinya banyak mengundang polemik. Kendati hal tersebut sah adanya, namun, terlihat jelas syahwat politik perwira menengah TNI AD  itu tengah bergejolak.

Sebagai orang yang awam politik, rasanya tak bijak bila saya ikut mengupas ambisi para politisi empat partai untuk “mengonani” AHY agar menduduki kursi DKI 1. Terkait hal itu, saya lebih memilih menelisik peran sosok penting di balik pencalonan, yakni Susilo Bambang Yudhoyono alias SBY. Bagaimana pun juga, politisi Partai Demokrat itu memegang peranan vital dalam proses negoisasi empat partai.

Dari sikap SBY yang mendorong putra sulungnya terjun ke dunia politik ini, ingatan langsung menukik ke tujuh tahun yang lalu. Di mana, SBY yang masih menjabat sebagai Presiden RI memberikan pengarahan kepada taruna, pengasuh dan perwira TNI-Polri di Graha Samudra Bumi Moro, Markas Komando  Armada Kawasan Timur, Surabaya, Jawa Timur, Selasa 22 Desember 2009. “ Yang tidak benar kalau kalian memasuki akademi TNI-Polisi lantas cita- citanya ingin menjadi bupati, walikota, gubernur, pengusaha dan lain- lain. Tidak tepat,” ujarnya.

Menurut SBY, para taruna lulis TNI –Polri harus bercita- cita menjadi perwira yang berhasil di lingkungannya. Namun, dalam mengejar karier menuju pucuk jabatan tertinggi, ia mengingatkan agar mereka tidak menghalalkan segala cara atau menjatuhkan teman sendiri untuk menghilangkan pesaing.

Satu hal yang lebih penting, kendati bisa saja dalam perjalanan kehidupan nantinya ada dinamika, takdir mau pun jalan kehidupan masuk ke profesi lain, namun SBY menginginkan agar hati serta pikiran semua taruna yang akan dilantik menjadi perwira hanya satu, yakni berbakti dan mengabdi di lingkungan TNI-Polri.

Itulah penggalan pidato SBY sebelum melantik  1.092 taruna akademi TNI- Polri lulusan tahun 2009 menjadi perwira. Sayang, tujuh tahun kemudian, ketika dirinya sudah lengser dari jabatan Presiden, ia memberikan contoh yang kurang baik bagi para prajurit. Putra sulungnya yang mempunyai karier militer cemerlang, tiba- tiba didorong menanggalkan seragam dinasnya demi mengejar kekuasaan.

Jarkoni

Langkah SBY yang menyorongkan AHY untuk maju ke Pilkada DKI Jakarta tahun 2017 ini, mengingatkan khotbah seorang kyai di Salatiga. Di mana, ulama yang lumayan bijak tersebut kerap melontarkan istilah Jawa sebagai ungkapan kegelisahannya atas perilaku manusia. Salah satu yang kerap diucapkan adalah Jarkoniatau biso ngajar ra biso nglakoni (Bisa mengajar tak bisa menjalani).

Rasanya, istilah Jarkoni saat ini cukup tepat ditimpakan pada SBY. Bagaimana tidak, tujuh tahun lalu, ia menekankan pentingnya seorang calon perwira agar terus berkarier di kesatuannya. Bahkan, secara tegas dirinya mengajarkan bahwa tidak benar bila seseorang memasuki akademi TNI-Polri bercita- cita jadi kepala daerah.

Baru memasuki tujuh tahun, segala wejangannya bagi para calon perwira, ternyata dipatahkannya sendiri. Sangat wajar bila istilah Jarkoni tersemat pada dirinya. Hanya karena syahwat politik yang melebihi batas ambang, AHY “dipaksa” maju bertarung melawan Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok. Padahal, pangkat melati dua tahun depan tersemat di pundak sang anak.

AHY sebenarnya adalah seorang perwira menengah yang cerdas, lahir tanggal 10 Agustus 1978 merupakan anak pertama SBY. Selepas lulus SMP Negeri 5 Bandung, ia masuk ke SMA Taruna Nusantara Kota Magelang. Tamat dari SMA paling bergengsi di Indonesia itu, dirinya memilih mendaftar di Akmil yang terletak di kota yang sama.

Menyandang predikat sebagai taruna, AHY bukanlah taruna ecek- ecek, tahun 1999 ia terpilih sebagai Komandan Resimen Korps Taruna Akademi Militer. Tahun 2000 dirinya lulus dengan predikat terbaik dan meraih penghargaan pedang Tri Sakti Wiratama serta medali Adhi Makayasa, penghargaan impian seluruh taruna. Padahal, saat itu, ayahnya belum menjabat Presiden RI.

Lulus dari Akmil, AHY bergabung di Komando Cadangan Strategis Angkatan Darat (Kostrad) dan bertugas ke Aceh. Berikutnya berbagai tugas operasi dilakoninya dengan mulus hingga mengantarkannya sebagai Komandan Batalyon Yonif Mekanis 203/Arya Kemuning , Kodam Jaya dan menyandang pangkat melati satu

Karier cemerlang AHY akan berakhir bila Panglima TNI mengabulkan permohonan pengunduran dirinya karena akan mencalonkan diri sebagai kandidat gubernur DKI Jakarta. Banyak spekulasi yang bakal terjadi atas dirinya, bisa saja Panglima tak menyetujui permohonannya dan berimplikasi pada tersendatnya karier di masa mendatang atau permohonan dikabulkan selanjutnya terjun ke politik praktis mengikuti jejak adiknya. Mampukah Poros Cikeas mengantarnya ke kursi empuk DKI 1 ? Kita lihat perkembangannya. Salam Jarkoni. (*)

Diolah dari : presiden-perwira-tni-polri-jangan-bercita-cita-jadi-gubernur

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun