Di Republik ini ternyata masih bisa ditemukan celana pendek berbahan katun yang harganya cuma Rp 12.000,00. Tidak percaya? Datanglah ke kampung konveksi yang terletak di Kelurahan Tingkir Lor, Tingkir, Kota Salatiga. Di sini, hampir 90 persen warganya menggeluti dunia jahit-menjahit dan mematok harga jual paling murah sedunia.
Kampung konveksi di Tingkir Lor sudah dikenal oleh para pedagang pakaian berbagai kota di Indonesia sebagai sentra pembuatan pakaian murah meriah. Hasil produksi mereka sudah merambah Bandung, Jakarta, Yogyakarta, Bali, bahkan Kalimantan. “Kekuatan daya jual pakaian buatan kami terletak pada harga yang relatif murah dibanding pakaian produksi daerah lain,” kata Bu Nur (50) yang mengakui menggeluti bisnis konveksi sejak tahun 1988, Rabu (21/9) siang saat diajak berbincang.
Menurut Bu Nur, beragam pakaian yang diproduksinya biasa diambil pedagang asal Surabaya yang selanjutnya dijual ke Madura maupun Bali. Mereka datang seminggu sekali. Selain memborong konveksi, juga mengambil pesanan sebelumnya. “Kami memang menerima pembuatan sprei, bed cover, dan pakaian laki-laki maupun perempuan,” ungkapnya.
Untuk menebus perbincangan singkat mengenai seluk-beluk konveksi yang dikelolanya, akhirnya saya mengambil tiga potong celana pendek selutut. Harganya, Rp 45.000,00 atau sepotongnya cuma Rp 15.000,00. Lumayan, bisa untuk tidur karena berbahan katun sehingga terasa adem di kulit. Padahal, kalau di toko pakaian, paling murah celana pendek sejenis mencapai Rp 30.000,00.
Apa yang disampaikan Bu Nur, belakangan juga dibenarkan oleh Bu Nurmah (55) pemilik konveksi Shafira. Ia yang mulai menggeluti pakaian jadi sejak 1987, mengakui bahwa konveksi menjadi tiang penyangga ekonomi masyarakat di Kelurahan Tingkir Lor. “Padahal, ketika usaha ini dimulai di tahun 1987, warga yang terlibat hanya 12 orang,” tuturnya.
Perkampungan konveksi, kata bu Nurmah, dimulai tahun 1987. Di mana, PT Damatex, salah satu perusahaan tekstil terbesar di Kota Salatiga bersedia memberikan sisa kain produksinya kepada 13 warga Tingkir Lor. Warga yang diizinkan mengambil kain ke pabrik biasanya menjual dalam bentuk kiloan. Sembari menunggu pelanggan, beberapa orang mulai mencoba membuat celana kolor, rok, maupun baju.
Ternyata, pakaian yang dibuat itu direspons positif oleh pasar. Mulailah bermunculan konveksi skala kecil di perkampungan Tingkir Lor atau biasa disebut Kampung Cengek. Secara perlahan namun pasti, aktivitas konveksi berkembang tak hanya sebatas membuat celana kolor. Beragam pakaian mulai diproduksi, termasuk sprei maupun bed cover. “Karena di sini mayoritas warganya muslim, tentunya pembuatan mukena juga jadi prioritas,” ungkap Bu Nurmah.
Status warga yang berbisnis konveksi sebenarnya hanyalah pelaku-pelaku usaha kecil. Sebab, kegiatan pembuatan beragam pakaian dikerjakan di rumah masing-masing, belum ada yang mampu membangun tempat khusus. Meski begitu, jangan dianggap enteng, pasalnya kapasitas produksinya bisa mencapai seribu potong per bulan.
Itulah gambaran geliat sentra konveksi di Tingkir Lor yang sudah menasbihkan diri sebagai Desa Wisata. Keberadaan mereka tak terasa sudah melewati enam zaman, yakni mulai zaman pemerintahan Soeharto, Habibie, Gus Dur, Megawati, SBY, dan Joko Widodo. Ketika tahun 1998, saat republik ini terpuruk akibat krisis ekonomi, para pelaku konveksi tetap saja mampu bertahan tanpa dukungan bank. Mereka sah-sah saja disebut sebagai pengusaha kelas gurem, namun, faktanya kondisi perokonomian mereka tetap adem ayem. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H