Hampir semua orang rahu persis brownis berbahan baku utama terigu yang rasanya sarat dengan pekatnya cokelat, namun, di Desa Tegaron, Banyubiru, Kabupaten Semarang, terdapat jajanan yang sama dan bedanya, brownies ini memiliki rasa buah serta sayuran. Berikut adalah penelusurannya terhadap kudapan berlabel brownies ndeso tersebut.
Diberi nama browneis ndeso (kampung atau desa) karena nyaris seluruh bahan bakunya berasal dari desa di sekitar Tegaron, Banyubiru, Kabupaten Semarang. Kue yang memiliki rasa telo ungu (ubi ungu), pisang, labu kuning, nangka, durian, jagung hingga wortel ini, kendati sudah diproduksi sejak tahun 2012, namun memang belum banyak dikenal masyarakat. Pamornya masih kalah dibanding dengan brownies cokelat.
“ Berbeda dengan brownies cokelat, untuk brownies ndeso sengaja saya sajikan banyak varian agar konsumen mempunyai banyak pilihan,” kata Kristin yang kurang begitu kooperatif dalam menjawab pertanyaan, Kamis (15/9) sore.
Di rumahnya yang terletak di Desa Tegaron RT 4 RW 9, Banyubiru, Kabupaten Semarang, Kristin yang memperkerjakan beberapa tetangganya untuk memproduksi brownies, mengakui bahwa kue buatannya diuntungkan dengan berlimpahnya bahan baku seperti jagung, ubi, labu, durian, tape ketan dan sayuran. Pasalnya, apa yang disebutnya tak akan habis sepanjang masa serta mudah didapat.
Kristin sendiri sengaja menambahkan label ndeso,dalihnya sederhana, karena browniesnya berbahan baku utama dari desa di sekitarnya, maka dirinya merasa lebih afdol mencantumkannya. Hal yang paling dipegangnya hingga sekarang, kue produksinya tak menggunakan pengawet. Untuk itu, ia menyarankan agar konsumen segera memasukkan ke kulkas bila belum akan dinikmati.
Secara perlahan, brownis ndeso buatan Kristin yang diberi merk KrisKris mulai dilirik konsumen. Bila sebelumnya ia hanya melayani pembelian di rumahnya yang terletak di tengah- tengah antara kota Salatiga- Ambarawa, belakangan dirinya sengaja membuka outlet di beberapa lokasi seperti di Salatiga, Bukit Cinta, Banyubiru hingga Ambarawa sendiri.
Jangan dibayangkan yang namanya outlet itu merupakan tempat berjualan yang representatif , sebab, outlet penjualan tersebut hanya berupa meja ukuran 1 X 1 meter dan menumpang di depan took atau rumah milik sahabatnya. Salah satu contohnya, outlet yang nebeng di teras Singkong Keju D9 Salatiga, menggunakan meja berukuran sama, dijaga seorang gadis untuk menjaring konsumen yang lagi membeli singkong lagendaris tersebut.
Kendati sekarang sudah mempunyai beberapa outlet, namun, Kristin seakan tertutup bicara omzet penjualannya. Padahal, dengan harja jual antara Rp 25.000- Rp 35.000 perdus, harusnya keuntungan yang diperoleh sangat lumayan. Menurutnya, brownies ndesobuatannya tengah ia upayakan menjadi ikon kuliner di Kabupaten Semarang. Dirinya berharap, nantinya kue produksinya mampu berkembang seperti Singkong Keju D 9 yang kebetulan pengusahanya adalah sahabatnya.
Memang, apa yang dikerjakan Kristin belum sebesar pengusaha- pengusaha lain yang bisa merekrut tenaga kerja berjumlah ribuan orang. Meski begitu, langkah kecilnya harus mampu menginspirasi jutaan ibu rumah tangga lainnya di Republik ini. Percayalah, kemauan, niat dan upaya yang maksimal, bila dikerjakan bakal menuai hasil yang menggembirakan. Kita tunggu munculnya Kristin- Kristin yang lain. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H