Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Brownies Ndeso ala Desa Tegaron, Banyubiru

15 September 2016   17:13 Diperbarui: 15 September 2016   17:25 1009
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tumpukan brownie ndeso yang siap dikirim ke outlet (foto: dok pri)

Hampir semua orang rahu persis brownis berbahan baku utama terigu yang rasanya sarat dengan pekatnya cokelat, namun, di Desa Tegaron, Banyubiru, Kabupaten Semarang, terdapat jajanan yang sama dan bedanya, brownies ini memiliki rasa buah serta sayuran. Berikut adalah penelusurannya terhadap kudapan berlabel brownies ndeso tersebut.

Diberi nama browneis ndeso (kampung atau desa) karena nyaris seluruh bahan bakunya berasal dari desa di sekitar Tegaron, Banyubiru, Kabupaten Semarang. Kue yang memiliki rasa telo ungu (ubi ungu), pisang, labu kuning, nangka, durian, jagung hingga wortel ini, kendati sudah diproduksi sejak tahun 2012, namun memang belum banyak dikenal masyarakat. Pamornya masih kalah dibanding dengan brownies cokelat.

Yang ini brownies ubi ungu (foto: dok pri)
Yang ini brownies ubi ungu (foto: dok pri)
Adalah Kristin Anggriani (30) mantan karyawati pabrik tekstil yang memiliki gagasan untuk mengganti bahan baku terigu dalam membuat brownies. Kendati tak seluruhnya unsur terigu dilenyapkan, namun, penggunaannya hanya sebatas 20 persen. Selebihnya, berbagai buah mau pun ubi diolahnya hingga membentuk kue  brownies yang tentunya tetap lembut di mulut. Bila sebelumnya ia mengedepankan brownies ubi ungu sebagai produk unggulan, belakangan sedikitnya terdapat 10 varian yang mampu dijajakan.

“ Berbeda dengan brownies cokelat, untuk brownies ndeso sengaja saya sajikan banyak varian agar konsumen mempunyai banyak pilihan,” kata Kristin yang kurang begitu kooperatif dalam menjawab pertanyaan, Kamis (15/9) sore.

Di rumahnya yang terletak di Desa Tegaron RT 4 RW 9, Banyubiru, Kabupaten Semarang,  Kristin yang memperkerjakan beberapa tetangganya untuk memproduksi brownies, mengakui bahwa kue buatannya diuntungkan dengan berlimpahnya bahan baku seperti jagung, ubi, labu, durian, tape ketan dan sayuran. Pasalnya, apa yang disebutnya tak akan habis sepanjang masa serta mudah didapat.

Brownis labu buatan Kristin (foto: dok pri)
Brownis labu buatan Kristin (foto: dok pri)
Pada saat memulai usaha pembuatan brownies ndeso, Kristin tidak serta merta langsung melemparnya ke pasaran. Dari berbagai percobaan, akhirnya ketemu komposisi berupa telur, gula, mentega, susu, cokelat dan buah yang pas. Setelah beberapa teman mau pun kerabatnya mencicipi, semuanya memuji kue buatannya itu. “ Setelah saya yakin bakal laku, barulah saya mulai menjualnya,” ungkapnya.

Kristin sendiri sengaja menambahkan label ndeso,dalihnya sederhana, karena browniesnya berbahan baku utama dari desa di sekitarnya, maka dirinya merasa lebih afdol mencantumkannya. Hal yang paling dipegangnya hingga sekarang, kue produksinya tak menggunakan pengawet. Untuk itu, ia menyarankan agar konsumen segera memasukkan ke kulkas bila belum akan dinikmati.

Begini kemasan bwonies ndesa (foto: dok pri)
Begini kemasan bwonies ndesa (foto: dok pri)
Menciptakan lapangan Kerja Sendiri

Secara perlahan, brownis ndeso buatan Kristin yang diberi merk KrisKris mulai dilirik konsumen. Bila sebelumnya ia hanya melayani pembelian di rumahnya yang terletak di tengah- tengah antara kota Salatiga- Ambarawa, belakangan dirinya sengaja membuka outlet di beberapa lokasi seperti di Salatiga, Bukit Cinta, Banyubiru hingga Ambarawa sendiri.

Jangan dibayangkan yang namanya outlet itu merupakan tempat berjualan yang representatif , sebab, outlet penjualan tersebut hanya berupa meja ukuran 1 X 1 meter dan menumpang di depan took atau rumah milik sahabatnya. Salah satu contohnya, outlet yang nebeng di teras Singkong Keju D9 Salatiga, menggunakan meja berukuran sama, dijaga seorang gadis untuk menjaring konsumen yang lagi membeli singkong lagendaris tersebut.

Kendati sekarang sudah mempunyai beberapa outlet, namun, Kristin seakan tertutup bicara omzet penjualannya. Padahal, dengan harja jual antara Rp 25.000- Rp 35.000 perdus, harusnya keuntungan yang diperoleh sangat lumayan. Menurutnya, brownies ndesobuatannya tengah ia upayakan menjadi ikon kuliner di Kabupaten Semarang. Dirinya berharap, nantinya kue produksinya mampu berkembang seperti Singkong Keju D 9 yang kebetulan pengusahanya adalah sahabatnya.

Tumpukan brownie ndeso yang siap dikirim ke outlet (foto: dok pri)
Tumpukan brownie ndeso yang siap dikirim ke outlet (foto: dok pri)
Terobosan yang dibuat Kristin, bagaimana pun layak diapresiasi. Di negeri yang kekayaan alam dan pertaniannya berlimpah ini, harusnya seseorang tak perlu kelimpungan mengejar lowongan kerja. Inovasi ditambah kreatifitas terbukti mampu menciptakan lapangan pekerjaan bagi diri sendiri serta orang lain. Salah satu contohnya adalah Kristin, lingkungannya yang jauh dari perkotaan, terbukti tidak menghalangi niatnya membangun suatu usaha.

Memang, apa yang dikerjakan Kristin belum sebesar pengusaha- pengusaha lain yang bisa merekrut tenaga kerja berjumlah ribuan orang. Meski begitu, langkah kecilnya harus mampu menginspirasi jutaan ibu rumah tangga lainnya di Republik ini. Percayalah, kemauan, niat dan upaya yang maksimal, bila dikerjakan bakal menuai hasil yang menggembirakan. Kita tunggu munculnya Kristin- Kristin yang lain. (*)

Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun