Athanasius Allan Darma Saputra, siswa kelas 5 SD Negeri Salatiga 02, Kota Salatiga bukanlah bocah sembarangan. Kendati usianya masih tergolong belia, yakni 10 tahun, sepak terjangnya sebagai dalang wayang kulit layak diacungi jempol. Ia sudah malang melintang di berbagai pementasan hingga lebih dari 50 kali.
Seperti galibnya seorang murid SD, bocah laki- laki yang biasa disapa Athan, juga suka memainkan berbagai permainan elektronik. Yang membedakan dibanding anak lainnya,tanpa diperingatkan, ia mampu mengatur durasi waktunya. Perangkat lunak tersebut, hanya berada di tangannya selama 1 jam, selanjutnya dirinya mengambil buku- buku pelajaran dan mengerjakan tugas yang diberikan gurunya.
Usai merampungkan tugas sekolahnya, Athan langsung berlatih memainkan beragam karakter wayang kulit hingga sore hari. Setelah mandi, biasanya bila tak ada pementasan, ia kembali berlatih. “ Pokoknya, kalau tidak ada jadwal pementasan, Athan selalu berkutat dengan wayang- wayangnya. Tak ada yang memaksa, sepertinya nalurinya sebagai dalang cilik sudah terbentuk,” kata ibu kandungnya yang bernama Ika Puspitarini, Selasa (13/9) sore, saat diajak berbincang.
Menurut Ika, sejak usia 1 tahun, Athan sudah mulai memperlihatkan kegemarannya terhadap kesenian tradisional itu. Setiap ada pagelaran wayang kulit, ia selalu rebut mengajak ayahnya Alfonsus Kristiono untuk menonton. Kendati menggunakan bahasa isyarat karena belum dapat bicara secara jelas, namun apa yang diinginkannya bisa dimengerti, yakni menunggui dalang memainkan wayang. “ Bahkan, menjelang tidur pun, Athan selalu minta dinyanyikan lagu- lagu Jawa yang biasa dibawakan Waljinah,” ungkapnya.
Hingga memasuki usia 3 tahun, hasrat Athan untuk mempelajari wayang kulit semakin menggebu. Oleh orang tuanya, akhirnya ia diantar ke Sanggar Sobokarti yang terletak di jalan Dr Cipto Kota Semarang. Niatnya, ikut berlatih. Sayang, karena usianya masih dianggap terlalu dini, ditambah kemampuannya membaca dan menulis belum ada, keinginannya tersebut ditolak. Meski begitu, bocah yang energik itu tak patah arang. Dirinya ngotot meminta dibelikan buku- buku silsilah pewayangan serta saban hari harus dibacakan.
Karena semakin hari niatnya menggeluti dunia pewayangan bertambah menggebu, akhirnya, saat Athan duduk di Taman Kanak- Kanak (TK), orang tuanya mendatangkan pelatih wayang yang bernama Sarnyoto. Kebetulan, kendati belum menginjak bangku SD, tapi ia telah mampu membaca dan menulis. Otomatis hal tersebut sangat membantunya dalam mempelajari seluk beluk wayang kulit.
Tak butuh waktu lama bagi Athan untuk menguasai cara memainkan wayang kulit berikut ceritanya, memasuki kelas 1 SD Salatiga 02, ia sudah berani tampil di pementasan kesenian tradisional itu. Gayanya yang khas ketika menirukan beragam karakter, ternyata mendapat aplaus dari penonton. Semenjak pentas pertama tersebut, tanggapan demi tanggapan terus mengalir. Bahkan, saat kota Salatiga memiliki hajatan, dirinya selalu ditampilkan. Dia pun menggunakan gelar Ki Athan seperti layaknya dalang lainnya.
Hampir lima tahun Athan malang melintang sebagai dalang cilik, berbagai kota besar sudah dirambahnya. Di sini, meski selalu didampingi ayah atau ibunya, namun Athan mampu mengatur ritme hidupnya sendiri. Sebagai contoh, ketika ada tanggapan, usai pulang sekolah, ia langsung menggarap pekerjaan rumah (PR) yang diberikan gurunya. Setelah tuntas, barulah dirinya berlatih lakon yang bakal dimainkan.
Dengan tarif sekali main mencapai Rp 10.000.000 (untuk paket lengkap mulai sewa gamelan, sound system, pengrawit, sinden dan dagelan), pundi- pundi uangnya memang selalu bertambah. “ Kami selaku orang tuanya tidak pernah intervensi, uang itu ditabungnya sendiri dan juga dibagikan pada orang- orang tak mampu,” kata Ika serius.
Berkat tabungannya pula, Athan mampu mendirikan joglo lumayan besar di Langensari, Ungaran, Kabupaten Semarang. Joglo yang nilainya mencapai ratusan juta itu, dimanfaatkan untuk tempat berlatih, sekaligus sebagai lokasi kumpul- kumpul dengan teman- temannya. Ika sendiri ketika didesak nilai joglo milik anaknya, sepertinya enggan menyebut angka pasti. Menurutnya, harga bangunan tersebut sebenarnya didapat berdasarkan harga persaudaraan yang tentunya tidak etis bila disebutkan.
Lantas, dengan kepadatan jadual yang dimiliki bocah 10 tahun itu, apakah ada dampak negatif terhadap prestasi belajarnya ? Ternyata sama sekali tidak berpengaruh sedikit pun. Sejak kelas 1 SD hingga sekarang ini, Athan selalu menempati rangking I. Bahkan, di berbagai lomba tingkat SD pun, Athan kerap maju mewakili SD Negeri 02 Kota Salatiga. Perihal prestasinya tersebut, berdasarkan hasil konfirmasi di sekolahnya, benar adanya.
Sementara di dunia pewayangan mau pun beragam lomba lainnya , prestasinya juga tak kalah moncer. Tercatat, nama Athan pernah menjadi dalang sabet terbaik tingkat nasional tahun 2015, juara 1 lomba Pakeliran Padat tingkat Kabupaten Semarang, juara 1 lomba dalang cilik se Kabupaten Semarang, juara 1 lomba mocopat se Jateng, , lomba 1 mendongeng bulan bahasa, juara 1 Duta Lingkungan, juara 1 lomba menyanyi dan berbagai gelar lainnya.
Itulah sepak terjang Athan, dalang cilik yang sejak usia 1 tahun sudah berupaya nguri- uri kebudayaan tradisional. Dengan tekadnya menekuni dunia pedalangan, bukan berarti mengabaikan pendidikan formalnya. Terbukti, prestasi di sekolahnya tetap bersinar. Bagaimana pun juga, rekam jejak anak berumur 10 tahun tersebut layak diapresiasi. Terlepas dari rupiah yang dikumpulkannya, niatnya merawat kesenian Indonesia harus ditularkan pada jutaan anak- anak di Republik ini. Salam lestari. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H