Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Di Balik Legitnya Dawet Ireng, Purworejo

6 September 2016   15:54 Diperbarui: 6 September 2016   16:39 1213
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cak Din meladeni sambil berbincang (foto: dok pri)

Dawet ireng, minuman tradisional pelepas dahaga asal Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah sudah banyak diketahui orang. Ada puluhan pedagang yang menjajakannya di sepanjang jalan raya Kebumen-Purworejo. Di balik itu semua, ternyata ada sesuatu yang cukup “dahsyat” di dalam mangkok perpaduan cendol, santan, gula merah dan es batu tersebut.

Kendati pedagang dawet ireng banyak terkonsentrasi di jalan raya Kebumen-Purworejo, tepatnya di kecamatan Butuh, namun, perihal “dahsyat”nya cendol berwarna hitam tanpa pewarna ini, saya dapatkan di jalan Mranti. Seorang pedagang bernama cak Din, secara tak sengaja memaparkan kehebatan dagangannya hingga membuat dirinya berikut keluarganya tetap mampu bertahan hidup secara layak puluhan tahun.

Cak Din yang pernah merasakan bekerja sebagai karyawan perusahaan swasta, sejak tahun 2000 an memutuskan berwiraswasta setelah terkena PHK. Karena modalnya cekak, akhirnya ia memilih membuka lapak es dawet. “Saya awalnya sempat ragu, sebab, soal perdawetan saya sangat awam,” tuturnya.

Lapak dawet ireng cak Din (foto: dok pri)
Lapak dawet ireng cak Din (foto: dok pri)
Beruntung, kegalauannya tak bertahan lama. Sebab, seorang kenalannya bersedia berbagi resep. Akhirnya, dengan tekad bulat, ia pun memberanikan diri membuka lapak di jalan Mranti yang tak begitu ramai oleh arus lalu lintas. Secara perlahan tapi pasti, dagangannya mulai dikenal para pelanggan. Otomatis, income yang didapatnya juga ikut terdongkrak.

“Kalau sebelumnya omzet hanya sekitar 50 mangkok perhari, sekarang sudah mapan menjadi 150 an mangkok perhari,” tukasnya.

Wow, dengan omzet mencapai 150 mangkok perhari dan harga jual Rp 3.000 permangkok, maka penghasilan kotor cak Din mencapai Rp 450.000 / hari. Untuk menghitung keuntungan bersihnya sangat mudah, karena bahan baku senilai Rp 1.500/mangkok, maka income bersih sehari dirinya mengantongi Rp 225.000. Bila rata- rata setiap bulan hanya berdagang 25 hari, penghasilannya saban bulan Rp 5.625.000. Angka yang menggiurkan bagi bisnis ecek- ecek.

Cak Din meladeni sambil berbincang (foto: dok pri)
Cak Din meladeni sambil berbincang (foto: dok pri)
Bisnis Tak Ada Matinya

Apa yang diungkapkan oleh cak Din, ternyata juga diamini oleh mas Giar, penjual dawet ireng di pinggir alun-alun Purworejo. Mantan karyawan perusahaan konstruksi asal Lampung ini, memilih banting stir menjadi pedagang kaki lima. “Kalau bicara omzet, ya sekitar 150 an mangkak perharinya pak,” jelasnya.

Menurutnya, omzet tersebut stabil di musim kemarau. Namun, memasuki penghujan, omzet akan mengalami penurunan hingga 50 persen. Implikasi turunnya omzet akan berdampak pada menurunnya income juga. Kendati begitu, paling apes Rp 100.000 sehari tetap mampu dibawa pulang. Padahal, saat bekerja di perusahaan konstruksi, gaji yang didapat, paling banter Rp 2.000.000 perbulan.

Ini dawetnya mas Giar (foto: dok pri)
Ini dawetnya mas Giar (foto: dok pri)
Karena sudah menekuni kuliner dawet ireng sejak tahun 2014, mas Giar telah merasa nyaman. Ia mengaku tak ingin beralih profesi, apa lagi bekerja secara formal di perusahaan. “Dengan berjualan dawt ireng, hasilnya lumayan. Dan yang paling penting, saya tidak berada dibawah kekuasaan orang lain. Pingin libur tinggal libur, mboten (tidak) ribet,” tukasnya.

Berbeda dengan cak Din mau pun mas Giar, seorang pedagang dawet ireng di kawasan kecamatan Butuh, yakni pak Wagiman, cenderung enggan membuka rahasia “perusahaan”nya. Lapaknya yang berada di pinggir jalan raya, nyaris tak pernah sepi. Kendati begitu, dengan dalih sibuk melayani pembeli, dirinya menolak diajak berbincang.

Warung dawet pak Wagiman yang selalu ramai (foto: dok pri)
Warung dawet pak Wagiman yang selalu ramai (foto: dok pri)
Hanya menurut pembantunya, dalam sehari rata- rata warung dawet irengnya pak Wagiman menyediakan stock hingga 300 mangkok. Buka mulai pukul 09.00, hebatnya pk 15.00 dagangannya sudah ludes. “Ya karena  sudah habis warung ya langsung ditutup,” kata pembantunya yang tak sadar tengah digali keterangannya.

Bila apa yang diungkapkan pembantunya benar adanya, maka, masih menggunakan asumsi perhitungan di lapak pak Din, artinya income bersih pak Wagiman layak disebut sangat “dahsyat”. Sebab, setelah dipotong bahan baku, untung bersihnya mencapai Rp 1.500 kali 300 mangkok, mencapai Rp 450.000  sehari. Karena jarang libur kecuali ada kepentingan keluarga, Rp 450.000 kali 30 hari : Rp 13,5 juta / bulan !

Padahal, di sepanjang jalan raya Butuh ini, terdapat banyak sekali Wagiman-Wagiman yang lain. Ternyata, di balik keberadaan semangkok dawet ireng, tersembunyi sesuatu yang “dahsyat”. Dengan penghasilan berkisar Rp 5 juta hingga Rp 13,5 juta perbulan, artinya hal ini merupakan bisnis menggiurkan bagi rakyat kebanyakan.  Apa lagi, bila lapak yang dimilikinya lebih dari satu, maka “kedahsyatan”nya lebih terasa. Terbukti, selain sebagai pelepas dahaga, ternyata mampu membuat dompet makin tebal. Anda tertarik mencobanya ?  (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun