Lebih jauh Robi mengakui, dirinya tetap berharap adanya donatur yang sudi menyumbangkan buku bekas. Pasalnya, buku lawas tetap akan berharga di mata anak- anak di desanya. Sebab, dengan aktivitas membaca, selain mampu mengasah otak mereka, juga bisa menghindarkan diri anak-anak dari hal-hal berbau negatif. Ke depan, ia memiliki cita-cita mendirikan Ruba minimal 10 titik sehingga memudahkan orang untuk membacanya.
Terinspirasi oleh tekad Robi yang hanya seorang buruh bangunan ini, ingatan langsung tertuju pada Kompasianival 2016 yang mengusung tema berbagi. Bila Kompasiana Berbagi bisa berjalan, kenapa Perpusjal dan Ruba yang dikelola Robi tidak didaftar sebagai calon penerima bantuan? Begitu pun dengan para sahabat Kompasianer, sekiranya repot membawa buku-buku bekas yang memenuhi lemarinya di rumah, akan lebih baik dikirimkan ke Robi. Sebab, azas manfaatnya sangat besar sekali.
Itulah gambaran tentang sepak terjang Robi, pejuang literasi yang tak mengenal kosa kata berhenti hanya karena situasi. Baginya, apa pun kondisinya, segala sesuatu pasti mampu disiasati. Terenyuh juga di hati mendengar tekad pria berumur 30 tahun ini. Pertanyaannya, apakah kita masih memiliki kepedulian dan empati? Ayo kita lawan UNESCO. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H