Kota Salatiga hanyalah sebuah kota kecil yang terletak di tengah- tengah antara Kota Semarang dengan Surakarta, kendati begitu, Setara Institute menobatkannya sebagai kota paling toleran se pulau Jawa. Bagaimana warganya dalam menjaga kerukunan beragama di tengah era teknologi yang sedemikian pesat ? Berikut gambarannya.
Beragam teori tentang kerukunan umat beragama mungkin setiap saat bisa dibaca di diktat tebal, kendati begitu, bagi masyarakat Kota Salatiga, mereka sudah belajar secara otodidak mengenai pentingnya merawat perdamaian antar suku, ras, agama dan antar golongan (SARA). Di mulai sejak Republik ini berdiri, yang namanya perbedaan keyakinan telah ada. Hebatnya, tak ada individu yang merasa terusik.
Ketika Tolikara, Papua, Aceh Singkil, Aceh hingga Tanjung Balai, Sumetera Utara digoyang kerusuhan berlatarkan sentimen agama, maka orang langsung menengok Salatiga. Kota yang dihuni sekitar 190.000 jiwa dengan populasi agama Islam 75 persen, namun, kedewasaan cara berfikir masyarakatnya layak diacungi jempol. Provokasi bukannya tidak pernah ada, bahkan, setiap terjadi gesekan, para provokator selalu bergentayangan menggunakan segala cara.
Sedahsyat apa pun provokasi yang dilakukan, hanya ditanggapi secara dingin dan cerdas. Masyarakat yang merasa pada posisi mayoritas tak terpancing sedikit pun, begitu pula golongan minoritas, sama sekali tidak terintimidasi. Setiap persoalan yang muncul akibat keyakinan, Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) yang dipimpin KH Drs Tamam Qulany selalu mampu meredamnya. Bila situasi menghangat, maka jajaran Polres Salatiga sigap mengambil alih.
Di Salatiga, ada ritual rutin tahunan yang digelar oleh umat Muslim dan Nasrani. Di mana, setiap hari raya Idhul Fitri serta hari raya Idhul Adha, warga yang beragama Islam menggelar sholat Ied di lapangan Panca Sila. Sebaliknya, di hari Paskah mau pun Natal, gantian pemeluk agama Nasrani melaksanakan kebaktian bersama di lapangan yang sama. Kebaktian yang sudah dimulai sejak tahun 1970 tersebut, praktis belum pernah menimbulkan persoalan. Padahal, kebaktian berlangsung di depan Masjid Raya Darul Amal yang satu kompleks dengan IAIN.
Provokasi di Media Sosial
Konsekuensi banyaknya perguruan tinggi di Salatiga, tak urung membuat masyarakat di kota ini jadi melek terhadap media sosial (Medsos). Ibarat pisau nan tajam, maka warga tetap bijak memanfaatkannya. Mereka enggan menggunakannya untuk menusuk golongan lain yang berbeda pendapat. Kendati begitu, terkadang muncul akun- akun palsu yang sengaja dibuat guna menebar provokasi.
Jauh sebelum Sadiq Khan seorang warga Muslim di London terpilih sebagai Walikota di tengah masyarakat yang mayoritas non Muslim, Salatiga sudah lebih dulu memiliki seorang Walikota beragama Nasrani. Sosok tersebut bernama John Manuel Manoppo SH yang mengakhiri jabatannya di tahun 2011 lalu. Meski menjadi kelompok minoritas, dirinya memimpin hingga akhir jabatan tanpa direcoki soal agama.
Ketika John , pernah mendapat tekanan dari umat Muslim agar membagi lahan negara di kawasan Salib Putih, Kumpulrejo, Argomulyo yang dikuasai yayasan Kristen. Hampir 10.000 orang, sempat melakukan aksi besar- besaran. Mereka menggelar long march sejauh 1kilo meter, hasilnya, kendati permintaannya sulit dipenuhi, namun tak ada satu pun genting yang pecah mau pun rumput yang tercabut.
Hal paling menyolok terjadi di bulan Agustus tahun 2015 lalu, di mana, Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan (YPKP) ‘ 65 pimpinan Bejo Untung akan menggelar pertemuan tingkat nasional di Gedung LP3S Sinode, Kota Salatiga. Tiga hari sebelum hajatan dimulai, di Medsos muncul foto bergambar bendera palu arit yang seolah- olah dipasang di salah satu jembatan yang ada di Salatiga. Provokasi ini, tujuannya untuk memancing masyarakat agar bertindak anarkhis. Sayang, hal tersebut mental adanya.
Penolakan terhadap rencana pertemuan tingkat nasional yang diadakan oleh YPKP’65, dilakukan masyarakat dengan cara cerdas dan elegan. Mereka mengirim surat kepada Kapolres Salatiga AKBP Yudho Hermanto agar tak memberikan ijin. Belakangan, cara tersebut efektif. Pihak pengelola Gedung LP3S Sinode tidak mengijinkan gedungnya disewa, pemberitahuan penolakan bahkan dilakukan secara resmi menggunakan surat.
Paska ditariknya peredaran majalah Lentera, di Medsos segera bermunculan provokasi- provokasi untuk membenturkan umat Muslim dengan golongan minoritas. Namun, elemen masyarakat bergeming. Mereka tak terpancing sedikit pun untuk memicu kerusuhan. “ Kami tidak mau diadu domba, sebab nantinya yang rugi ya kami sendiri,” kata Ketua Forum Umat Islam Salatiga (FUIS) Arief Budiyanto SH.
Kasus paling anyar adalah penganiayaan terhadap mahasiswa beragama Islam , bernama yang dilakukan oleh dua oknum mahasiswa beragama non Muslim. Pelaku yang berasal dari luar pulau Jawa, sukses merenggut nyawa pemuda bernama Patlas Deo Hani . Paska kejadian, di Medsos langsung bermunculan reaksi keras. Ada upaya- upaya provokasi yang dilakukan secara marathon. Hasilnya, masyarakat lebih percaya sikap sigap jajaran Polres Salatiga yang segera meringkus dua tersangka.
FAMILI Ikut Berperan
Beberapa kasus di atas merupakan salah satu bukti kedewasaan masyarakat Salatiga dalam menyikapi berbagai isu yang menyesatkan. Harus diakui, peran FKUB memang cukup dominan dalam menciptakan iklim sejuk di kota ini. Kendati begitu, kecerdasan warga juga memegang peranan besar. Tanpa dukungan masyarakat yang sangat menyadari betapa pentingnya merawat kerukunan beragama pada era Medsos, mustahil kedamaian bakal terwujut.
Kepiawaian FKUB mengolah isu yang menyesatkan sekaligus meredam adanya gejolak akibat perbedaan keyakinan, belakangan juga ditindaklanjuti oleh anak- anak muda. Di awal bulan Ramadhan 2016 lalu, puluhan intelektual muda dari berbagai agama, sepakat membentuk Forum Agamawan Muda Indonesia Lintas Iman (FAMILI). Di mana, dalam peresmiannya yang berlangsung di salah satu gedung di areal Gereja Katolik St Paulus Miki, Kota Salatiga, digelar diskusi serta berbuka bersama.
Menurut Dr Beny Ridwan, salah satu aktifis FAMILI yang juga menjabat sebagai Dekan di IAIN Kota Salatiga, komunitas FAMILI yang dipimpin Gus Hanif dari Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang, Kabupaten Semarang bertujuan mempererat tali silaturahmi antar tokoh muda yang aktif di jaringan gereja, masjid, kelenteng hingga organisasi keagamaan lainnya. “ Bila yang sepuh tak mengerti soal peran Medsos, maka kami mengambil alihnya,” jelasnya.
Lebih jauh Beny mengakui, kadang ada rekannya dari luar pulau Jawa yang melemparkan guyonan setengah mengejek. Di mana, Salatiga bisa kondusif karena masyarakatnya lugu (cenderung bodoh) sehingga bisa menerima sikap arogansi pendatang. Terkait hal itu, ia hanya menjawab bahwa orang yang bebal adalah orang yang gampang diadu domba. Giliran terjerat masalah hukum, baru menyadari kebebalannya.
Segala hal yang dijelaskan Beny, memang benar adanya. Semuel S Lusi, seorang pendatang dan beragama non Muslim, bertempat tinggal di salah satu kampung di kawasan Kelurahan Pulutan, Sidorejo, Kota Salatiga. Tetangganya 99 persen beragama Islam, kendati begitu, dirinya tak pernah merasakan adanya diskriminasi. Komunikasi antar tetangga sangat baik, bahkan, ia sering ikut pengajian saat pertemuan rutin warga. “ Saya nyaman- nyaman saja tinggal di sini,” dosen Universitas Kristen Satya Wacana ini.
Apa yang diungkapkan Beny dan Semuel S Lusi merupakan representasi kondisi riil keberagaman Kota Salatiga, kecerdasan dan kedewasaan cara berfikir masyarakatnya membuat oknum yang ingin mengadu domba kerap patah arang. Andai Indonesia bisa seperti Salatiga, alangkah indahnya bangsa ini.Ke depan, apa yang diidamkan bakal terwujut. Seperti kata nenek moyang kita, Indonesia bakal gemah ripah loh jinawi toto tentrem kerto raharjo ( Kekayaan alam yang berlimpah, kondisi aman serta tentram). (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H