Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Andai Indonesia Seperti Kota Salatiga

25 Agustus 2016   17:58 Diperbarui: 25 Agustus 2016   18:01 9385
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pemuda Katolik membagikan takjil (foto: dok pri)

Penolakan terhadap rencana pertemuan tingkat nasional yang diadakan oleh YPKP’65, dilakukan masyarakat dengan cara cerdas dan elegan. Mereka mengirim surat kepada Kapolres Salatiga AKBP Yudho Hermanto agar tak memberikan ijin. Belakangan, cara tersebut efektif. Pihak pengelola Gedung LP3S Sinode tidak mengijinkan gedungnya disewa,  pemberitahuan penolakan bahkan dilakukan secara resmi menggunakan surat.

Cover majalah Lentera yang menghebohkan (foto: dok pri)
Cover majalah Lentera yang menghebohkan (foto: dok pri)
Begitu pun saat majalah Lentera, media cetak buatan mahasiswa salah satu perguruan tinggi swasta terkenal di Salatiga. Di mana, dalam liputan khususnya di bulan Oktober 2015, menggunakan judul yang provokatif, yaitu “ Salatiga Kota Merah”. Hal tersebut sangat identik dengan stempel kota PKI, padahal, isinya sangat jauh berbeda. Nyaris 90 persen kejadian tempat kejadian perkaranya berada di wilayah kabupaten Semarang.

Paska ditariknya peredaran majalah Lentera, di Medsos segera bermunculan provokasi- provokasi untuk membenturkan umat Muslim dengan golongan minoritas. Namun, elemen masyarakat bergeming. Mereka tak terpancing sedikit pun untuk memicu kerusuhan.  “ Kami tidak mau diadu domba, sebab nantinya yang rugi ya kami sendiri,” kata Ketua Forum Umat Islam Salatiga (FUIS) Arief Budiyanto SH.

Kasus paling anyar adalah penganiayaan terhadap mahasiswa beragama Islam , bernama yang dilakukan oleh dua oknum mahasiswa beragama non Muslim. Pelaku yang berasal dari luar pulau Jawa, sukses merenggut nyawa pemuda bernama  Patlas Deo Hani . Paska kejadian, di Medsos langsung bermunculan reaksi keras. Ada upaya- upaya provokasi yang dilakukan secara marathon. Hasilnya, masyarakat lebih percaya sikap sigap jajaran Polres Salatiga yang segera meringkus dua tersangka.

FAMILI Ikut Berperan

Beberapa kasus di atas merupakan salah satu bukti kedewasaan masyarakat Salatiga dalam menyikapi berbagai isu yang menyesatkan. Harus diakui, peran FKUB memang cukup dominan dalam menciptakan iklim sejuk di kota ini. Kendati begitu, kecerdasan warga juga memegang peranan besar. Tanpa dukungan masyarakat yang sangat menyadari betapa pentingnya merawat kerukunan beragama pada era Medsos, mustahil kedamaian bakal terwujut.

Kepiawaian FKUB mengolah isu yang menyesatkan sekaligus meredam adanya gejolak akibat perbedaan keyakinan, belakangan juga ditindaklanjuti oleh anak- anak muda. Di awal bulan Ramadhan 2016 lalu, puluhan intelektual muda dari berbagai agama, sepakat membentuk  Forum Agamawan Muda Indonesia Lintas Iman (FAMILI). Di mana, dalam peresmiannya yang berlangsung di salah satu gedung di areal Gereja Katolik St Paulus Miki, Kota Salatiga, digelar diskusi serta berbuka bersama.

Buka bersama aktifis FAMILI (foto: dok pri)
Buka bersama aktifis FAMILI (foto: dok pri)
Kenapa dipilih lokasi di areal Gereja St Paulus Miki ? Pasalnya, gereja ini saban tahun paling aktif berbagi dengan masyarakat. Di mana, setiap bulan Ramadhan, pemuda- pemudi Katolik jelang berbuka selalu membagikan takjil kepada warga yang melintas. Kendati di Salatiga terdapat beberapa gereja lain yang juga mengikutinya, namun, FAMILI menganggap jemaat gereja tersebut konsisten membangun kebersamaan sesama umat tanpa dibatasi sekat agama.

Menurut Dr Beny Ridwan, salah satu aktifis FAMILI yang juga menjabat sebagai Dekan di IAIN Kota Salatiga, komunitas FAMILI yang dipimpin Gus Hanif dari Pondok Pesantren Edi Mancoro, Gedangan, Tuntang, Kabupaten Semarang bertujuan mempererat tali silaturahmi antar tokoh muda yang aktif di jaringan gereja, masjid, kelenteng hingga organisasi keagamaan lainnya. “ Bila yang sepuh tak mengerti soal peran Medsos, maka kami mengambil alihnya,” jelasnya.

Pemuda Katolik membagikan takjil (foto: dok pri)
Pemuda Katolik membagikan takjil (foto: dok pri)
Toleransi terhadap perbedaan beragama di era Medsos, lanjut Beny, dalam tiga tahun terakhir sangat memegang peranan penting. Pasalnya, di dunia maya, orang udah sekali melempar isu dengan tujuan untuk mengadu domba antar umat. Untuk itu, FAMILI sebagai garda terdepan berupaya sigap menangkisnya. “ Komunikasi antar tokoh- tokoh muda lintas agama, setiap saat berjalan dengan baik. Sehingga, gesekan sekecil apa pun mampu kita antisipasi,” ungkap Beny yang berasal dari Sumatera Utara tersebut serius.

Lebih jauh Beny mengakui, kadang ada rekannya dari luar pulau Jawa yang melemparkan guyonan setengah mengejek. Di mana, Salatiga bisa kondusif karena masyarakatnya lugu (cenderung bodoh) sehingga bisa menerima  sikap arogansi pendatang. Terkait hal itu, ia hanya menjawab bahwa orang yang bebal adalah orang yang gampang diadu domba. Giliran terjerat masalah hukum, baru menyadari kebebalannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun