Bagi sebagaian orang, Musium Palagan Ambarawa, Kabupaten Semarang tak lebih dari sekedar tempat penyimpanan berbagai barang kuno. Padahal, dibalik itu semua, tersimpan kisah pertempuran dahsyat antara Tentara Keamanan Rakyat (TKR) melawan militer Belanda dan Sekutu. Selasa (16/8) saya mencoba merunutnya melalui beberapa sumber.
Pertempuran dahsyat yang terjadi di Ambarawa ini, sebenarnya berlangsung selama tiga hari tiga malam. Di bawah komando Kolonel Soedirman perang berlangsung sengit, mengandalkan strategi supit udang, aksi tembak-tembakan yang dimulai tanggal 12 Desember 1945 tersebut, akhirnya memaksa pasukan musuh mundur teratur dan meninggalkan Ambarawa. “TKR dibantu laskar dan rakyat bertempur habis- habisan,” kata Pramono, veteran berumur 92 tahun saat ditemui di rumahnya.
Pramono yang lahir dilahirkan tahun 1924 itu, mengaku saat terjadinya perang besar-besaran di Ambarawa, usianya masih 21 tahun. Seperti kebanyakan pemuda lainnya, ia ikut bergabung dengan TKR. Sebenarnya, paska kemerdekaan Republik Indonesia tanggal 17 Agustus 1945, para tentara sudah merasa tenang karena menganggap perang telah berakhir.
Ternyata, ketenangan anggota TKR tak berlangsung lama. Sekitar 3 bulan paska berkumandangnya lagu Indonesia Raya, tanggal 20 Oktober 1945, tentara Sekutu di bawah kepemimpinan Brigadir Jendral Bethel mendarat di pelabuhan Semarang. Dengan dalih akan mengurus para tahanan perang, mereka disambut secara baik oleh kepala pemerintahan di Jawa Tengah. Padahal, dibalik itu, terselip militer Belanda yang mempunyai tujuan lain.
Mundurnya tentara Sekutu dan Belanda ke Ambarawa, rupanya tak membuat TKR Magelang berpuas diri. Dibantu personil TKR dari daerah lain, mereka segera melakukan pengejaran. Di sepanjang perjalanan kerap terjadi baku tembak, bahkan belakangan pihak musuh sempat bertahan di dua desa yang masuk wilayah Kecamatan Jambu. Kendati begitu, TKR terus merangsek.
Hingga suatu hari, tepatnya tanggal 25 November 1945, mendadak di langit Ambarawa terlihat tiga buah pesawat jenis Mustang tengah bermanuver. Pesawat yang di kalangan pejuang disebut sebagai cocor merah karena bagian kepalanya dicat merah itu, tiba-tiba berpencar ke Kecamatan Tuntang, Bandungan dan Jambu. Di Bandungan, senapan mesin yang ada di pesawat melepaskan berondongan secara membabi buta sembari menjatuhkan sebuah bom.
Sementara dua pesawat sengaja melakukan provokasi di langit, satu pesawat yang berada di kawasan Kecamatan Jambu, pilotnya melihat ada sebuah mobil jenis Jeep di depan SD Kelurahan. Penumpangnya adalah Letkol Isdiman, perwira menengah kepercayaan Kolonel Soedirman. Ia tengah berada di dalam gedung sekolah untuk menggelar pertemuan dengan Mayor Imam Adrongi (Komandan Rayon TKR Banyumas) yang sebelumnya bertempur melawan tentara Sekutu di Magelang. Karena para tentara bule mundur hingga ke Ambrawa, akhirnya diatur siasat memukul ulang.
Merasa curiga adanya mobil yang tak lazim di depan SD Kelurahan, pilot Belanda segera memberitahu rekan-rekannya sesama pilot untuk merapat ke Jambu. Hasilnya, tiga pesawat Mustang bersenjata lengkap mengepung langit di atas sekolahan itu. Tanpa dikomando, gedung SD Kelurahan dihujani peluru melalui senapan mesin. Letkol Isdiman dan Mayor Imam sebenarnya sempat mencari perlindungan di belakang gedung, sayang, peluru tajam menghujam paha kakinya. “Yang saya dengar, Mayor Imam membalut luka di paha beliau dengan menggunakan handuk kecil,” ungkap Pramono.
Belum puas menghajar SD Kelurahan dengan ribuan peluru tajam, sebelum meninggalkan tempat kejadian perkara (TKP), pesawat saat kembali ke Ambarawa sempat menaburkan pelurunya di sepanjang jalan secara membabi buta. Di Desa Ngampin, salah satu pesawat menjatuhkan bom. “Mereka menang peralatan perang, jadi ya sangat pongah,” sambungnya.
Begitu mendengar Let Kol Isdiman gugur, Kolonel Soedirman langsung marah besar. Meski bertekad akan menuntut balas atas kematian orang kepercayaannya, namun Kolonel Soedirman tetap berfikir jernih. Beliau sangat tahu persenjataan tentara Sekutu yang dalam perang terbuka jelas tak menguntungkan pihak TKR. Terkait hal tersebut, dikumpulkannya seluruh komandan TKR dari berbagai daerah guna menyusun strategi.
Menerima serangan mendadak seusai Subuh, ternyata membuat tentara Sekutu mau pun Belanda terkaget-kaget. Hanya dalam hitungan jam, seluruh akses menuju Ambarawa sudah mampu dikuasai TKR. Praktis, suplai makanan mau pun senjata tentara musuh berhasil dilumpuhkan. Meski terkepung, musuh enggan menyerah begitu saja. Mereka tetap bertahan di Benteng Pendem Ambarawa sembari menebar teror.
Sebenarnya dari sisi mental, pasukan Sekutu dan Belanda sudah jatuh total. Namun karena faktor gengsi, mereka tetap bertahan. Hal inilah yang membuat Kolonel Soedirman serta TKR naik pitam. Posisi musuh dihajar terus menerus, setelah empat hari empat malam dihujani peluru, akhirnya tanggal 15 Desember 1945 tentara dunia tersebut, berhasil dipaksa mundur ke Semarang selanjutnya pulang kandang. Kehebatan TKR dalam menghajar hingga babak belur musuh itu, membuat para petinggi negeri sepakat menjadikan tanggal 15 Desember sebagai Hari Juang Kartika atau lebih dikenal Hari Jadi TNI Angkatan Darat.
Itulah sedikit cerita saat merunut keberadaan Musium Palagan Ambarawa, terbukti, kendati hanya benda-benda mati yang tersimpan di dalamnya. Namun, bila imajinasi kita melayang ke 71 tahun lalu, maka bakal terkuak sejarah pertempuran heroik pejuang-pejuang tempo dulu dalam mempertahankan kemerdekaan Republik ini. Kalau anak bangsa yang tak pernah memanggul senjata sekarang malah sibuk korupsi, maka, ingatlah bahwa arwah para pejuang menangis melihat tingkah polah kalian. Merdeka ! (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H