Bendera merah putih yang mampu berkibar setelah ditebus dengan jutaan nyawa bangsa Indonesia, ternyata hingga sekarang masih tetap membawa berkah. Terlebih lagi bagi para pedagang umbul-umbul, menjelang hari ulang tahun kemerdekaan tanggal 17 Agustus, mereka menikmati masa panennya.
Di Kota Salatiga maupun Kabupaten Semarang, sedikitnya terdapat 100 pedagang bendera merah putih musiman. Mayoritas mereka merupakan pendatang asal Garut, Jawa Barat yang sengaja berdagang di bulan Agustus. Keberadaannya yang tersebar di berbagai titik strategis memudahkan masyarakat untuk membeli pernak-pernik merah putih.
“Di Salatiga, kami berjumlah 40 orang yang semuanya berasal dari Garut dan mengambil barang dagangan dari juragan yang sama,” kata Asep (40) yang membuka lapaknya di Jalan Kartini, Kota Salatiga.
Menurutnya, di akhir bulan Juli, mereka berjumlah 100 orang berangkat dari Garut menuju Kabupaten Semarang dan Salatiga. Oleh juragannya, 60 orang disebar di wilayah kabupaten Semarang sedang sisanya ditempatkan di Salatiga. “Oleh bos, kami ditentukan titik berdagangnya masing-masing sehingga tak terjadi persaingan,” ungkapnya.
Diakui, bulan Agustus, menjelang peringatan kemerdekaan Republik Indonesia, merupakan masa panen bagi Asep dan rekan-rekannya. Selama berdagang selama satu bulan penuh, rata-rata satu pedagang mampu membawa pulang keuntungan bersih sekitar Rp 6 juta- 8 juta. “Kalau barang dagangan punya sendiri, mungkin keuntungannya bisa dua kali lipat, Pak,” jelasnya.
Multiprofesi
Apa yang disampaikan oleh Asep, dibenarkan oleh rekannya yang bernama Uthep (30). Ia yang membuka lapak di trotoar Jalan Diponegoro, sebelumnya berdiri sendiri tanpa mengandalkan juragan. “Sebenarnya saya akan berdagang ke Jombang, Jawa Timur. Tapi, barang dagangan saya senilai Rp 11 juta diembat oleh pencoleng,” tuturnya sembari tersenyum kecut.
Padahal, ungkap Uthep, dengan nilai dagangan sebesar Rp 11 juta itu, bila laku semua dirinya bakal mampu meraup keuntungan 100 persen. Artinya, duit Rp 11 juta berupa laba akan dikantonginya. Karena telanjur lenyap digasak maling di bus, akhirnya ia bergabung dengan sesama pedagang Garut untuk mengambil barang dagangan pada juragan yang sama.
Konsekuensi mengambil barang dagangan dari juragan, otomatis keuntungannya juga ikut terbagi. Kendati begitu, Uthep mengaku bersyukur bisa meneruskan aktivitas berdagangnya. “Kalau tidak mengambil barang ke juragan, pulang kampung ya jadi mendadak miskin Pak,” ungkapnya.
Dari sekitar 100 pedagang, kata Ujang, sebenarnya tidak semuanya sehari-hari bekerja sebagai pedagang. Mereka multiprofesi, dari mulai petani, pekerja bangunan hingga pekerjaan lainnya. Karena berdasarkan pengalaman setiap memasuki bulan Agustus mampu memetik keuntungan lumayan, mereka pun bedhol deso (meninggalkan desanya) guna menikmati masa panen.
Berdasarkan keterangan tiga pedagang, berbagai pernak-pernik merah putih memiliki harga standar. Untuk becron karet sepanjang 10 meter dijual seharga Rp 250 ribu, becron karet 5 meter Rp 150 ribu, bandir Rp 40 ribu, umbul-umbul Rp 20 ribu dan sedangkan bendera termurah Rp 25 ribu paling besar Rp 100 ribu. “Kami mendapatkan komisi penjualan, Pak. Tapi kadang juga ada kelebihan sedikit,” kata Ujang diamini dua rekannya.
Itulah sedikit tentang berkah merah putih yang mampu dinikmati pedagang musiman. Dwiwarna yang merupakan suatu warna sakral bagi rakyat Indonesia, di usianya yang ke-71, ternyata tetap sangat bermanfaat bagi rakyat kecil. Memang, esensi bendera kebangsaan tak sekadar berkibar jelang ulang tahun kemerdekaan, yang paling penting, merah putih selalu berada di hati bangsa yang besar ini dan yang punya kekuasaan jangan korupsi. Salam Merdeka! (*)