Mohon tunggu...
Bambang Setyawan
Bambang Setyawan Mohon Tunggu... Buruh - Bekerja sebagai buruh serabutan yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Bekerja sebagai buruh serabutan, yang hidup bersahaja di Kota Salatiga

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Ups! Masjid Agung Magelang ini Umurnya 237 Tahun

29 Juli 2016   13:18 Diperbarui: 29 Juli 2016   13:45 1160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Wajah Masjid Agung dari alun- alun (foto: dok pri)

Bila selama ini ada paradigma yang menyebut bahwa bangunan yang dibuat pemerintahan kolonial Belanda mampu bertahan ratusan tahun, ternyata hal tersebut terpatahkan. Masjid Agung di Kota Magelang yang didirikan KH Mudakir, ternyata sudah berumur 237 tahun. Berikut catatannya berdasarkan keterangan beberapa sumber.

Ketika melayat seorang kerabat, Kamis (28/7) sore, saya menyempatkan diri menunaikan sholat Ashar di Masjid Agung yang terletak di Jalan Alon- Alon Barat Nomor 2 Kota Magelang. Kebetulan, lumayan banyak jamaah yang beribadah, mayoritas merupakan umat Muslim asal luar kota. Hal tersebut terlihat dari plat nomor kendaraan yang ditumpangi mereka, tak ada satu pun berplat Magelang (AA). Selain melaksanakan sholat, mereka juga beristirahat sembari tiduran di serambi.

Istirahat dan tiduran di teras Masjid (foto: dok pri)
Istirahat dan tiduran di teras Masjid (foto: dok pri)
Masjid Agung yang menempati areal seluas 3.200 meter persegi, arsitekturnya perpaduan antara Belanda dan Arab. Plafonnya yang tinggi, menimbulkan kesan lapang. Begitu pun terasnya sengaja dibuat terbuka tanpa penyekat. Yang istimewa, kiblatnya  lurus dengan Mekah. Di Jawa Tengah, masjid yang memiliki kiblat sama hanya tiga, yakni Masjid Agung Jawa Tengah, masjid di Kabupaten Grobogan serta Masjid Agung Kota magelang.

Kiblatnya lurus ke arah Mekah (foto; dok pri)
Kiblatnya lurus ke arah Mekah (foto; dok pri)
Sebelum sholat, dalam perbincangan dengan seorang warga Temanggung yang bernama Suwarto (55), ternyata ada penjelasan yang membuat penasaran. Ia yang tiga hari sekali menempuh perjalanan dari Yogyakarta karena urusan bisnis, selalu berupaya menunaikan sholatnya di Masjid Agung ini. “ Entah saat Ashar atau Maghrib, pasti saya mampir ke sini,” ungkapnya.

Pengakuan Suwarto agak aneh, toh sepanjang perjalanan Yogyakarta hingga Temanggung, terdapat berpuluh-puluh Masjid. Kenapa ia selalu memilih Masjid Agung di Magelang? Ternyata, ada alasan yang membuat lawan bicaranya terperangah. “ Masjid Agung ini usianya lebih dari tiga setengah abad, rasanya sangat afdol menunaikan sholat di sini,” jelasnya tanpa bermaksud bercanda.

Mobil- mobil asal luar kota yang diparkir di halaman Masjid (foto: dok pri)
Mobil- mobil asal luar kota yang diparkir di halaman Masjid (foto: dok pri)
Penasaran dengan keterangan Suwarto, langsung saya kembangkan data minim tentang Masjid Agung tersebut. Usai mengambil beberapa gambar, perburuan sejarah segera dimulai. Untungnya, ketua takmir  Jauhari (81) bersedia menuturkannya. Tanpa harus berbasa basi, beliau banyak bercerita mengenai cikal bakal Masjid yang juga biasa disebut Masjid Kauman. “ Masjid dibangun oleh KH Mudakir, seorang ulama asal Jawa Timur di tahun 1650,” jelasnya.

Menurutnya, saat didirikan Masjid Agung belum semegah sekarang. Dulunya hanya berupa Langgar (Mushola) kecil tanpa tempat berwudlu. Karena di tahun tersebut Kota Magelang belum ada PDAM, maka jamaah yang akan menunaikan sholat terpaksa harus mengambil air di sungai Progo yang berjarak sekitar 1 kilometer. Akibatnya, usai berwudhu, jamaah pasti berkeringat sebelum melaksanakan ibadahnya.

Ini plafonnya (foto: dok pri)
Ini plafonnya (foto: dok pri)
1779 Resmi Jadi Masjid

Setelah hampir 127 tahun menjadi tempat ibadah tanpa ketersediaan air, baru di tahun 1779  ada pemugaran. Berdasarkan prasasti yang ditulis menggunakan bahasa Arab dan Belanda, Mushola dipugar total. Selain ditambahkan mimbar untuk khotbah seperti layaknya sebuah masjid, tiang- tiangnya juga diganti. Kayu yang dipergunakan sebagai tiang merupakan kayu jati pilihan yang didatangkan langsung dari Bojonegoro.

Dengan adanya penjelasan ini, otomatis apa yang disampaikan oleh Suwarto yang menyebut usia Masjid Agung sudah mencapai lebih 3,5 abad tak sepenuhnya benar. Bila dihitung saat mendirikan pertama kali memang usianya telah memasuki 366 tahun. Namun, kalau dirunut fungsinya sebagai Masjid ya baru berumur 237 tahun. Meski begitu, apa pun anggapannya ya sah adanya, tergantung dari sudut mana menilainya.

Bedugnya konon juga sudah uzur (foto: dok pri)
Bedugnya konon juga sudah uzur (foto: dok pri)
Selanjutnya, renovasi juga dilakukan oleh Bupati Magelang I, yakni RA Danoeningrat di tahun 1810. Karena Belanda tengah bercokol di Republik ini, maka arsitekturnya masih menggunakan gaya kolonial. Hingga tahun 1835, Bupati RAA Danoeningrat II kembali melakukan pemugaran, begitu pun saat pucuk pemerintahan diganti oleh RAA Danoeningrat III, lagi- lagi ada penambahan bangunan.

Seperti sebuah tradisi, pergantian kepala daerah dipastikan memberikan sentuhan tersendiri pada masjid Agung. Bahkan Bupati Magelang ke V, RAA Danoesoegondo menjabat, ia melakukan renovasi besar-besaran. Menggunakan jasa arsitek Belanda bernama Heer H Pluyter, akhirnya Masjid menjadi semegah sekarang ini. Kendati begitu, Magelang yang dipecah jadi dua (Kabupaten dan Kota), di era orde baru juga mengalami penambahan. Walikota Magelang  Bagus Panuntun di tahun 1991, sempat mendirikan menara setinggi 24 meter dan menambahi teras depan dan tempat wudlu yang terpisahkan antara pria dengan wanita.

Tiang dan kayunya didatangkan dari Bojonegoro (foto: dok pri)
Tiang dan kayunya didatangkan dari Bojonegoro (foto: dok pri)
Sekarang, kondisi Masjid Agung yang berusia ratusan tahun ini terlihat kekar dan lumayan megah. Masjid yang sudah melewati beberapa jaman itu, selalu penuh dengan jamaah.Sejak era tingkat buta huruf nyaris 100 persen, hingga buta aksara 0 persen, banyak cerita yang membalut tempat ibadah tersebut. Satu hal yang paling menarik, yakni kejadian di masa kemerdekaan, tepatnya tahun 1947 sewaktu clash I Belanda.

Jelang perang brontoyudho, tentara rakyat yang berasal dari Surabaya dan Madura menjadikan Masjid Agung sebagai lokasi persinggahan sebelum menuju Parakan guna meminta doa seorang ulama terkenal, yaitu Kyai Subechi. Karena masjid penuh dengan tentara, akhirnya didirikan dapur umum di kampung Kejuron agar segala keperluan menyangkut perut teratasi. “ Kebetulan waktu itu usia saya berkisar 11- 12 tahunan, jadi ya sudah agak mengerti situasinya,” ungkap Jauhari.

Setahun kemudian, di tahun 1948, saat clash II kembali terjadi, tentara rakyat juga menjadikan masjid ini sebagai markas. Akibatnya, militer Belanda berduet dengan prajurit Ghurka secara berjamaah menghujani Masjid Agung menggunakan beragam senjata berat. Tak pelak, hal itu menimbulkan kerusakan di bagian atap serta tembok. Beruntung, akhirnya serdadu- serdadu Belanda ngacir ke negerinya sehingga Masjid Agung tidak terusik hingga sekarang. Semoga warisan nenek moyang tersebut mampu kita jaga sampai kapan pun juga. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun