Tahun 2016 ini, menara air yang merupakan salah satu land mark Kota Magelang, ternyata memasuki usia 100 tahun. Hebatnya, bangunan yang dirancang oleh arsitek Belanda bernama Thomas Kharsten itu, ternyata tetap berfungsi dengan baik. Sepertinya, bangunan masa lalu memang lebih berkualitas dibanding paska merdeka.
Sekitar 37 tahun yang lalu, tepatnya di tahun 1979 ketika duduk di kelas 1 SMA, saya kerap menghabiskan waktu di bawah menara air ini. Saat suntuk menghadapi guru fisika, mate matika mau pun kimia, alternatif mengobatinya ya bolos terus ngadem di sini. Setelah berpuluh tahun meninggalkan Kota Magelang, akhirnya kesempatan bertandang kembali ke bak air raksasa yang terletak di alun- alun tersebut kembali terealisasi.
Ada perbedaan yang mencolok di alun- alun yang berada di pusat Kota Magelang, bila dulu situasinya bersih, rapi dan adem, sekarang di sekeliling lapangan besar tersebut dikepung oleh tenda- tenda PKL.
Begitu pun di bawah menara air yang termasuk cagar budaya itu, puluhan pedagang sepertinya enggan membuka celah sedikit pun. Nyaris tiap jengkal lahan, dikuasai sepenuhnya pedagang makanan. Mungkin ini kebijakan yang populis, namun, implikasinya ya kerapiannya berkurang.
Untuk bagian bawah yang bentuknya bulat, difungsikan menjadi ruangan kantor PDAM, meliputi bidang pelayanan, laboratorium hingga gudang. Total ruang sebanyak 13 ruangan yang terkesan longgar. “ Ngantor di sini, tidak perlu pendingin udara, karena udaranya sudah sejuk,” kata salah satu karyawan PDAM Kota Magelang yang enggan disebut namanya.
Menurutnya, pembangunan menara air yang dimulai tahun 1916 tersebut, awalnya bertujuan untuk mengamankan persediaan air minum bagi militer dan warga Belanda yang tinggal di Kota Magelang.
Di mana, agar para tentara terlindungi dari upaya peracunan mau pun pencemaran, maka dibuatlah bak air raksasa yang mustahil mampu dijangkau oleh kaum pribumi, pasalnya arealnya selalu dijaga ketat oleh tentara bersenjata lengkap.
Pemerintahan kolonial Belanda memang cerdik, untuk memenuhi pasokan air, setelah menara berdiri, mereka menarik air dari desa Kalegen, Bandongan, Kabupaten Magelang yang berjarak 10 kilometer. Menggunakan tiga pipa besar berdiameter 50 cm, jutaan liter air disedot ke tempat penjernihan selanjutnya ditarik pompa supaya mengisi bak raksasa. “ Kebetulan sumber air di Kalegen mempunyai sembilan mata air yang biasa disebut sebagai tuk songo,” ungkapnya.
Mengamati karya Thomas Kharsten memang membuat siapa pun terkesima, untuk menuju bak penampungan, harus melewati tangga yang dibuat bertingkat tiga. Selanjutnya, di atas bak penampung terdapat ruangan kecil dan ruang kecil yang memiliki sirine sebagai penunjuk waktu kala itu. Di luar hal tersebut, ada ruang hampa yang fungsinya guna mengatur tekanan air. Sedang pendistribusian air ke konsumen dikendalikan tiga pompa.
Menara air yang termasuk bangunan cagar budaya ini, sebenarnya mampu menjadi daya tarik tersendiri bagi wisatawan Belanda, terlebih lagi yang pernah merasakan hidup di Kota Magelang dan saban hari menikmati airnya.
Sayang, lahan di bagian bawah tak tersisa sedikit pun akibat dikuasai pedagang, dampaknya kenyamanan turis dipastikan cukup terganggu.
Memasuki usianya yang ke 100 tahun, berdasarkan informasi, bangunan tersebut belum pernah mengalami renovasi apa pun. Pertanyaannya, kalau beratus tahun yang lalu bisa membangun gedung berkualitas, kenapa setelah memperoleh kemerdekaan kita malah tak mampu ?
Demikian laporan langsung yang disampaikan dari Kota Magelang yang memiliki jargon Kota Sejuta Bunga. Pesan moral yang perlu disampaikan pada pelaku konstruksi, mereka harusnya mampu mengadopsi segala teknik arsitektur Belanda. Terlepas suka dan tidak suka, ada satu fakta yang tidak terbantahkan bahwa bangunan yang menggunakan material sederhana, ternyata bisa bertahan hingga satu abad lebih. (*)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H